Substansi dan Definisi Pengetahuan

  

knowledge.jpgDengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, menjadi jelaslah bahwa langkah pertama yang mendasar dalam kajian-kajian epistemologi adalah penguraian terperinci, mendetail, dan akurat atas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan substansi dan definisi pengetahuan. Dengan demikian, sebelum menjelaskan dan memaparkan perkara-perkara ini, pembahasan-pembahasan utama epistemologi dan rukun-rukunnya tidak akan pernah menjadi jelas dan nyata.

1. Definisi Makrifat dan Pengetahuan  

Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi keseharian, kita sering menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah terbiasa menyelesaikan masalah itu”, “Saya menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa masyarakat pasti mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi menghadapi orang itu”, dan “Saya mempunyai pikiran-pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.

Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya mengetahuinya, saya memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang lainnya merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya.

Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan observasi. Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah.[1]

Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain:

1.       Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya sebagai dasar pembahasan.

2.       Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah dimana perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus perkara- perkara yang beragam, kemudian ia membandingkan perkara tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia menyiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih global.

Secara lahiriah, keberadaan kedua dimensi di atas bersifat logis dan tak berpisah satu sama lain. Pengetahuan itu tidak bisa dipandang sebagai suatu realitas yang konstan, tetap, tak berubah, dan tak hidup yang terdapat dalam ruang pikiran manusia, hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa jiwa manusia itu adalah tunggal dan satu, persentuhan manusia yang terus menerus dengan objek-objek eksternal dan syarat-syarat yang berbeda, aktivitas dan pengaruh potensi-potensi akalnya, pembentukan konsepsi-konsepsi dan perubahannya, sisi-sisi beragam dari pengalaman manusia, perubahan terus menerus yang terjadi pada aspek empirik manusia, dan perubahan kualitas persepsi dan analisa pikiran atas objek.

Uraian tersebut di atas lebih mewakili perspektif-perspektif Barat, dan berikut ini kami akan paparkan gagasan-gagasan filosof Islam tentang definisi pengetahuan. Namun, sebelum hal ini, kami akan singgung sedikit tentang eksistensi pengetahuan itu sendiri. Dikatakan bahwa wujud pengetahuan itu bersifat gamblang dan fitri serta tidak membutuhkan pembuktikan secara argumentatif, karena setiap pembuktian argumentatif niscaya berpijak pada gabungan mukadimah, dan setiap mukadimah (premis mayor dan minor) itu adalah pengetahuan itu sendiri. Lebih ringkas dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu identik dengan eksistensi dan keberadaan. Wujud itu sendiri tidak membutuhkan dalil atas ke-wujud-annya, karena segala sesuatu yang digunakan untuk menetapkannya tidak lain adalah wujud itu sendiri, dengan demikian, penetapan wujud itu sendiri adalah  mustahil karena berujung pada lingkaran setan atau akan berpuncak pada kontradiksi, yakni ketika kita ingin menetapkan eksistensi ilmu itu dengan suatu ilmu yang lain, maka sebelum membuktikan “eksistensi ilmu” kita mesti membutuhkan ilmu lain sebagai pendahuluan. Dengan demikian, kontradiksi terjadi karena untuk menetapkan eksistensi pengetahuan itu kita memerlukan ilmu lain sebagai mukadimahnya, sementara pada saat yang sama kita ragu atas keberadaan ilmu itu sendiri (termasuk ilmu sebagai mukadimahnya). Jadi, sebagaimana wujud itu sendiri tidak bisa ditetapkan dengan wujud yang lain, eksistensi ilmu dan pengetahuan pun demikian halnya.

Di bawah ini terdapat tiga pendapat mengenai pendefinisian ilmu dan pengetahuan, antara lain:

1. Pengetahuan itu tidak bisa didefinisikan, karena pengetahuan itu bersifat gamblang dan aksiomatik. Dan pendefinisian bagi perkara-perkara yang gamblang dan aksiomatik adalah hal yang mustahil (yakni akan terjadi daur atau lingkaran setan). Untuk menegaskan kegamblangan ilmu dan pengetahuan itu bisa berpijak pada beberapa hal:

·                     Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.

·                     Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.

·                     Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka akan berkonsekuensi pada kemustahilan  pengetahuan manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya. Dengan demikian, ilmu manusia, tanpa pendefinisian sebelumnya, kepada realitas bahwa “ia memahami sesuatu” ialah bersifat mungkin. Pengetahuan manusia bahwa “ia mengetahui sesuatu” adalah ilmu kepada “hubungan zatnya dengan ilmu”, dan ilmu kepada “hubungan suatu perkara kepada perkara lain” ialah bergantung atas ilmu pada salah satu dari subjek dan predikatnya.[2]

2. Pengetahuan itu bisa didefinisikan, namun sangat sulit.

3. Pengetahuan itu mudah didefinisikan.

Sesungguhnya definisi hakiki pengetahuan adalah hal yang mustahil, karena pada hakikatnya pengetahuan itu identik dengan eksistensi dan wujud, dan eksistensi – sebagaimana diketahui dalam pembahasan ontologi – secara hakiki adalah mustahil untuk didefinisikan. Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka sebenarnya bukanlah definisi yang hakiki. Dalam hal ini, banyak definisi yang telah dilontarkan berkaitan dengan pengetahuan ini, akan tetapi hanya beberapa yang bisa mencakup segala cabang-cabang pengetahuan dan bersifat komprehensif.

Di sini kami tidak akan menyebutkan semua definisi yang telah digagas dan dirumuskan oleh para filosof dan teolog muslim. Untuk lebih luasnya wawasan dalam pembahasan definisi ilmu dan pengetahuan silahkan merujuk pada kitab-kitab filsafat dalam bab pengetahuan. Di bawah ini kami hanya akan menyebutkan beberapa definisi yang mayoritas diterima oleh kalangan filosof:

a. Pengetahuan didefinisikan sebagai pencerminan objek-objek eksternal di alam pikiran

Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu didefinisikan sebagai suatu gambaran objek-objek eksternal yang hadir dalam pikiran manusia. Definisi ini juga disepakati oleh sebelas orang filosof dan ilmuwan Rusia.[3]

Akan tetapi, apabila kita mencermati definisi di atas, maka definisi tersebut hanya mencakup llmu hushuli dan tidak termasuk ilmu hudhuri, karena ilmu hudhuri bukanlah suatu “gambaran” dan “refleksi” objek-objek eksternal di alam pikiran.

        Ilmu dan pengetahuan itu terbagi dua:

–         Ilmu hushuli, yakni suatu pengetahuan yang dihasilkan dengan menggunakan media panca indera sebagai perantara hubungan dengan alam eksternal dan kehadiran gambaran objek-objek eksternal di alam pikiran itu melalui fakultas-fakultas lahiriah. Dengan ungkapan lain, ilmu hushuli adalah suatu ilmu yang hanya berhubungan dengan konsepsi dan gambaran dari objek-objek eksternal, seperti ilmu manusia kepada maujud-maujud eksternal. Dalam ilmu ini terdapat tiga hal yang prinsipil: 1. Subjek yang mengetahui yang bernama manusia; 2. Maujud-maujud eksternal dan hakiki (dimana dalam istilah filsafat disebut dengan “objek pengetahuan yang aksidental (ma’lum bil ‘aradh)”, yakni objek yang diketahui secara aksidental); 3. Suatu konsepsi yang bernama gambaran pikiran (dimana dalam istilah filsafat dikatakan sebagai “objek pengetahuan yang esensial” (ma’lum bizzat), yakni objek yang diketahui secara esensial).

–         Ilmu hudhuri, yakni suatu ilmu tidak membutuhkan suatu media sebagai perantara, akan tetapi objek pengetahuan itu sendiri (bukan gambaran dari objek itu) yang hadir secara langsung dalam diri subjek. Apabila dalam ilmu hushuli terdapat tiga perkara yang fundamental, maka dalam ilmu hudhuri hanya ada dua hal yang mendasar dan terkadang hanya satu hal. Yakni dalam ilmu ini tidak ada “gambaran” dari objek ilmu. Ilmu hudhuri terbagi dalam dua bagian: Pertama, terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri; Kedua, bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui), ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan ‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek pengetahuan.

Dengan memperhatikan kedua ilmu ini, hushuli dan hudhuri, menjadi jelaslah bahwa hanya bagian ilmu hushuli saja yang tercakup dalam definisi tersebut di atas. Dengan demikian, definisi tentang pengetahuan tersebut tidaklah sempurna dan komprehensif sehingga dapat meliputi semua cabang-cabang pengetahuan.

·                     Kategori kedua logikal bukanlah merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal di alam pikiran

Keberadaan kategori-kategori kedua logikal ini meruntuhkan keuniversalan definisi tentang pengetahuan tersebut. Dalam filsafat Islam, kategori-kategori itu terbagi menjadi dua bagian, kategori pertama dan kedua. Kategori pertama adalah pengenalan pertama manusia yang lahir dari hubungan yang sederharna antara pikiran dan alam eksternal, seperti persepsi benda-benda, warna-warna, dan bentuk-bentuk. Kategori pertama ini merupakan bentuk yang nyata dan langsung dari pencerminan objek-objek eksternal di alam pikiran, seperti penggambaran kita terhadap suatu kitab, pohon, kertas, dan objek-objek partikular lainnya. Jenis pengenalan lain yang berbeda dimana objek-objek eksternal tidak tercermin secara nyata dan langsung di alam pikiran dan melainkan membutuhkan aktivitas berpikir seperti konsepsi-konsepsi universal, spesies, genus, pengetahuan, dan konsepsi lain yang dibahas dalam ilmu logika. Di sini, mustahil terdapat suatu maujud eksternal bernama “universal”. Lahirnya konsepsi universal di alam pikiran misalnya, itu bukan bersumber secara langsung dari pencerminan objek-objek eksternal (karena tidak terdapat objek eksternal dan hakiki bernama universal yang darinya konsepsi universal itu muncul di alam pikiran), melainkan berasal dari suatu aktivitas fakultas indera berpikir manusia yang mampu mencipta konsepsi-konsepsi tersebut. Alam eksternal adalah alam partikular, dan konsepsi universal itu apabila keluar dari alam pikiran manusia, maka akan berubah menjadi realitas yang partikular. Sangat perlu ditegaskan bahwa pikiran manusia apabila tidak berhubungan dan terputus dengan alam eksternal, maka akan mustahil menciptakan konsepsi-konsepsi tersebut, akan tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa konsepsi-konsepsi tersebut hadir secara langsung dari objek-objek eksternal di alam pikiran manusia.[5]

·                     Kategori-kategori kedua filsafat juga bukan merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal di alam pikiran

        Jenis lain dari kategori-kategori yang kita miliki adalah suatu kategori kedua filsafat dimana tidak termasuk dalam domain dan ranah inderawi, seperti konsepsi kebergantungan dan kemungkinan (imkân, possibility) dan sesuatu (syai, thing). Kedua konsepsi ini digunakan oleh manusia untuk menjelaskan realitas eksternal, misalnya dikatakan: Ahmad adalah maujud bergantung (mumkinul wujud), meja adalah sesuatu, dan lain sebagainya. Di sini, predikat dalam proposisi itu adalah sifat bagi subjek itu sendiri dan keduanya menyatu di alam eksternal serta tidak berpisah satu sama lain, sementara di alam pikiran terdapat dua hal yang terpisah (Ahmad dan maujud bergantung) dan keduanya memiliki konsepsi yang berbeda-beda dimana kita kemudian mempredikasikan maujud bergantung itu kepada Ahmad. Kita mustahil menemukan suatu individu yang mandiri bernama “maujud bergantung”, pada saat yang sama adalah benar kalau kita menjelaskan bahwa Ahmad adalah maujud bergantung. Di sini, kita tidak dapat menyatakan bahwa pengenalan kita terhadap Ahmad sebagai mumkinul wujud adalah berasal dari pencerminan langsung dari suatu objek eksternal, melainkan pikiran kita dengan aktivitas khasnya mampu membagi segala sesuatu itu menjadi tiga bagian {Wajibul Wujud (Wujud Niscaya-Ada), mumkinul wujud (wujud mungkin-ada atau wujud bergantung), dan mumtane’ul wujud (wujud mustahil-ada)} dan menjelaskan segala sesuatu itu dengan salah satu dari ketiga bagian dan sifat-sifat ini.[6] Dengan demikian, mesti dikatakan bahwa tidak setiap gambaran pikiran itu adalah pencerminan langsung objek-objek eksternal, walaupun konsepsi-konsepsi dan kategori-kategori kedua filsafat tersebut mustahil terwujud tanpa adanya hubungan manusia dengan objek-objek eksternal.

·                     Perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan bukan merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal

Tidak diragukan bahwa kita memiliki perkara-perkara yang bersifat ketiadaan dan kemustahilan seperti daur (lingkaran setan) dan tasalsul (rangkaian tak berbatas). Kemustahilan kedua hal ini adalah sangat jelas dan telah dibuktikan dalam kitab logika dan filsafat. Persoalannya adalah apakah pengenalan kita terhadap daur dan tasalsul ini berasal dari pencerminan sesuatu yang eksternal? Pada prinsipnya, tidak terdapat objek eksternal yang bernama daur dan tasalsul sehingga bisa tercermin dan terbias dalam pikiran.[7]  

·                     Bilangan Matematika juga bukan merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal

Semua bilangan matematika bukan merupakan pencerminan dari realitas eksternal, namun apa-apa yang terdapat di alam luar hanyalah individu-individu bilangan dan bukan bilangan itu sendiri, misalnya angka satu itu sendiri tidak akan kita temukan di alam eksternal, yang ada hanyalah satu kitab, satu pohon, satu lebah. Dengan demikian, setiap pengenalan itu tidaklah mesti selalu bersumber dari pencerminan dan pembiasan langsung dari objek-objek eksternal, walaupun hal ini tidak bermakna bahwa manusia tidak membutuhkan suatu hubungan antara alam pikiran dan alam eksternal, karena apabila manusia tidak berhubungan dengan alam eksternal melalui media panca indera maka dia akan kehilangan banyak konsepsi-konsepsi yang dihasilkan lewat media tersebut dan mustahil pikiran bisa mengetahui, memahami, dan menggambarkan ketiadaan-ketiadaan dan kemustahilan-kemustahilan. Dalam filsafat Islam, proses pemahaman, penggambaran, dan pencerapan pikiran terhadap konsepsi-konsepsi universal, ketiadaan, dan kemustahilan bersumber dari pengenalan-pengenalan sebelumnya terhadap hal-hal yang berwujud dan bermateri sedemikian sehingga dengan pengenalan tersebut akal mampu menghadirkan dan menciptakan serta mempersepsi konsepsi-konsepsi semacam itu.[8]   

Dengan demikian, tidaklah mustahil bahwa terdapat suatu konsepsi-konsepsi di alam pikiran manusia yang sama sekali tidak mempunyai individu-individu di alam eksternal, akan tetapi pada saat yang sama hubungan manusia dengan alam eksternal adalah sebagai media persiapan bagi penciptaan, perwujudan, dan kehadiran konsepsi-konsepsi semacam itu di alam pikiran.[9]

b. Pengetahuan didefinisikan sebagai sejenis kesatuan wujud antara ‘âqil (intelligent) dan ma’qûl (intellected)

Para pendukung definisi ini menyatakan, “Pencerminan dan penggambaran semata-mata objek-objek eksternal di alam pikiran tidak akan langsung dapat mewujudkan pengetahuan, karena setiap kali gambaran-gambaran itu terpantul di atas cermin pengetahuan, secara otomatik cermin tersebut tidak bisa menangkap gambaran-gambaran itu. Hal ini karena pengetahuan itu hanya akan terbentuk ketika terdapat kesatuan dan kemanunggalan antara penerima gambaran dan gambaran itu sendiri, yang dalam istilah filsafat dikatakan kemanunggalan ‘âlim dan ma’lûm bizzat (yakni gambaran pikiran atau obyek pengetahuan esensial). Dan apabila tidak demikian, maka setiap bentuk gambaran yang terpantul pada air, cermin, dan pikiran adalah sama.[10]

Penyerupaan pikiran manusia dengan cermin tersebut telah ada sejak lama sebagaimana yang tertulis dalam kitab logika milik Mir Sayyid Syarif Jurjany yang merupakan kitab-kitab awal dalam ilmu logika, di situ tertera, “Pada manusia terdapat suatu fakultas pengindera yang memantulkan gambaran-gambaran segala sesuatu sebagaimana halnya cermin.”[11]  

Penyerupaan antara cermin dan pikiran manusia disebabkan terdapat kesamaan di antara keduanya, seperti setiap warna yang dimiliki oleh cermin, maka gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang ditampakkan oleh cermin akan terwarnai sebagaimana warna yang dimilikinya, namun apabila cermin itu tidak memiliki warna, maka ia akan menampakkan gambar dan bentuk itu sesuai dengan warna yang dimiliki oleh gambar dan bentuk. Dan semakin tidak berwarna dan semakin bersih cermin itu dari warna, maka penampakan realitas dan segala sesuatu akan sebagaimana adanya. Dimensi dan kenyataan ini sama seperti pikiran manusia, yakni apabila pikiran manusia mempunyai “warna”, maka ia akan melihat benda-benda itu sebagaimana “warna” pikiran, akan tetapi, kalau pikiran manusia tidak mempunyai “warna”, maka ia akan menunjukkan kepada manusia hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya. Hal ini sebagaimana perkataan suci Imam Ali As yang bersabda, “Ketika manusia telah larut dalam suatu kecintaan maka dia akan sangat dipengaruhi olehnya sedemikian sehingga dia tidak dapat melihat dan memandang sesuatu itu sebagaimana mestinya, begitu pula ketika dia hanyut dalam lautan kebencian dan kedengkian sehingga mewarnai jiwanya maka dia pun tidak akan mampu menilai realitas sebagaimana yang seharusnya, cinta menampakkan keburukan itu menjadi sesuatu yang indah, sebagaimana benci dan hasud akan memperlihatkan keindahan itu sebagai realitas yang buruk.[12] Di dalam al-Quran juga diungkapkan hal yang sama, Allah berfirman, “Apakah orang yang pekerjaan buruknya dihias indah (oleh setan) sehingga dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang melihat realita sebagaimana adanya)? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah dirimu binasa karena sedih terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[13] Dan dalam ayat yang lain difirmankan, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”[14]  

Dengan demikian, pengenalan dan pengetahuan hakiki sangat menekankan kebersihan pikiran dan kesucian jiwa dari segala bentuk “warna”, kekotoran, dan fanatisme yang sebagaimana suatu cermin yang bersih dari warna sehingga bisa memantulkan gambar dan bentuk secara akurat, teliti, dan alami. Namun, antara cermin dan pikiran juga memiliki perbedaan, antara lain: pertama, cermin itu tidak bisa menampakkan aspek batin dan makna sesuatu, yang ditunjukkan olehnya hanyalah dimensi lahiriah seperti bentuk dan warna serta volume manusia, akan tetapi apakah cermin itu akan bisa menampakkan pengetahuan, kecintaan, dan emosi manusia? Jawabannya ialah negatif, namun berbeda dengan pikiran manusia yang juga bisa mengetahui makna-makna tersebut; Kedua, cermin terkadang salah menampakkan realitas dan sekaligus tidak mampu  menunjukkan dimana letak kesalahannya, misalnya terkadang cermin menunjukkan sesuatu itu lebih besar atau lebih kecil dari yang sesungguhnya, akan tetapi, pikiran manusia tidak hanya bisa menunjukkan kesalahan hasil kontemplasinya sendiri, melainkan juga mampu merekonstruksi dan merumuskannya kembali; Ketiga, cermin hanya dapat menampakkan sesuatu yang lain dan tidak bisa menunjukkan dirinya sendiri. Akan tetapi, berbeda dengan pikiran manusia yang disamping mampu menggambarkan realitas-realitas yang lain, ia juga dapat menyadari akan kenyataan dirinya sendiri. Pikiran manusia disamping memahami segala sesuatu di luar dirinya ia pun mampu mengetahui keberadaan dan hakikat dirinya sendiri; Keempat, cermin hanya dapat memantulkan sesuatu yang berada dihadapannya dan tak mampu menggeneralisasikannya, sementara pikiran manusia selain mampu menangkap apa-apa yang berada didepannya juga bisa memahami realitas-realitas yang tak terbatas dan lebih dari itu ia mempunyai kemampuan menggeneralisasikan segala realitas yang diketahuinya itu; Kelima, cermin hanya dapat memantulkan benda-benda fisik yang terlihat, akan tetapi tidak bisa membiaskan hal-hal yang terdengar, tercium, dan terasa; Keenam, cermin merupakan benda materi dan fisikal, sementara pikiran manusia adalah realitas yang nonfisik dan nonmateri.     

c. Pengetahuan didefinisikan sebagai kehadiran sesuatu yang nonmateri pada maujud yang nonmateri (jiwa)  juga

Definisi pengetahuan adalah kehadiran sesuatu yang bersifat nonmateri pada sesuatu yang nonmateri juga (baca: jiwa). Allamah Thabathabai dalam kitab Nihayah al-Hikmah menyatakan bahwa apa yang kita cerap melalui persepsi-persepsi kita tidak lain adalah bentuk-bentuk yang nonmateri dan pengetahuan hakiki kita adalah realitas yang nonmateri itu, pada hakikatnya pencerapan kita tidak berhubungan langsung dengan objek-objek eksternal. Persepsi kita niscaya berkaitan dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang juga nonmateri. Dengan demikian, persepsi-persepsi kita sendiri itu apabila dihubungkan dengan benda-benda materi, misalnya dikatakan: kita mengetahui buku ini, yakni pengetahuan itu dikaitkan dengan buku itu, sementara pada hakikatnya yang kita ketahui adalah bentuk-bentuk yang nonmateri dari kitab dan bukan kitab itu sendiri sebagai objek eksternal. Kitab yang ada di alam eksternal yang disaksikan langsung oleh mata hanyalah berfungsi sebagai pengkondisian untuk terciptanya bentuk-bentuk nonmateri dari kitab itu yang kemudian hadir pada jiwa manusia. Pada dasarnya, objek ilmu dan pengetahuan kita bukanlah kitab eksternal itu, melainkan bentuk-bentuk pengetahuan yang berhubungan dengan alam nonmateri. Pengetahuan tidak lain adalah emanasi dari alam nonmateri dan hadir di alam jiwa yang juga nonmateri. Jadi, apabila kita katakan bahwa saya sedang menyaksikan dan mengatahui benda-benda eksternal tersebut, maka ungkapan ini hanyalah bersifat toleransi saja.

Dengan demikian, apa-apa yang diketahui dan dipahami itu adalah suatu perkara yang nonmateri dan subjek yang mengetahui (‘âlim) juga mestilah maujud yang nonmateri. Benda-benda materi tidak bisa mengetahui dan mencerap hal-hal yang nonmateri dan bentuk-bentuk dan gambaran-gambaran pengetahuan itu mestilah hadir di alam nonmateri (jiwa). Maka dari itu, pengetahuan tersebut adalah kehadiran realitas yang nonmateri di alam nonmateri (jiwa) atau kehadiran sesuatu nonmateri pada maujud nonmateri pula.[15] [16]

d. Pengetahuan didefinisikan sebagai “keyakinan pasti” yang sesuai dengan realitas eskternal

Kritikan atas definisi tersebut adalah bahwa tidak meliputi perkara-perkara yang mustahil terwujud dan konsepsi-konsepsi, karena hal-hal yang mustahil itu tidak mempunyai eksistensi dan realitas eksternal yang dapat diabstraksi oleh akal, begitu pula konsepsi-konsepsi tersebut tidak tergolong sebagai keyakinan.

e. Pengetahuan adalah sesuatu yang menyatu dengan perbuatan (dan sangat mungkin perbuatan yang terpancar dari pengetahuan itu adalah lebih kuat dan lebih pasti)

Kerumitan definisi ini adalah karena tidak mencakup ilmu dan pengetahuan yang tidak bersumber dari suatu perbuatan atau pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan suatu perbuatan dan prilaku, seperti pengetahuan manusia kepada dirinya sendiri, pengetahuan kepada Tuhan Sang Pencipta, dan pengetahuan kepada perkara-perkara yang tak berwujud.

f. Pengetahuan merupakan hubungan khusus yang terwujud antara subjek (‘âlim) dan objek-objek eksternal (ma’lûm)

Sebagian teolog yang dipelopori oleh Abul Hasan Asy’ary menggagas definisi penngetahuan tersebut. Akan tetapi, pengertian suatu “hubungan” adalah terciptanya jalinan di antara dua sesuatu. Oleh karena itu, dengan berdasarkan kepada pengertian tersebut mustahil terwujud dan terciptanya hubungan dan jalinan di antara “yang berwujud” dan “yang tak berwujud” (tiada), karena “yang tak berwujud” itu adalah tiada dan tidak memiliki eksistensi sehingga dapat dijalin suatu hubungan.

Pada satu sisi, kita dapat mengetahui dan menggambarkan perkara-perkara yang sama sekali tidak berwujud di alam eksternal, seperti gambaran kita tentang manusia yang mempunyai empat kepala, sekutu hakiki Tuhan, dan yang lainnya. Dengan demikian, definisi tersebut di atas tidak sempurna dan tidak komprehensif.

g. Pengetahuan diartikan sebagai kehadiran bayangan dari objek-objek eksternal di alam pikiran

Sebagian beranggapan bahwa yang hadir di alam pikiran kita tidak lain adalah bayangan objek-objek eksternal itu sendiri dan bukanlah hakikat objek-objek tersebut, yakni  sesuatu yang hadir di alam pikiran kita secara esensial dan hakiki berbeda dengan objek-objek eksternal, dan yang hadir itu hanyalah memiliki beberapa kesamaan dan kesesuaian dengan objek-objek eksternal serta hanya menunjukkan sebagian dari karakteristik-karakteristiknya.

Berdasarkan definisi tersebut, hubungan di antara konsepsi-konsepsi pikiran dan benda-benda eksternal adalah tidak bersifat nonesensial, melainkan sejenis hubungan gambar sesuatu dengan sesuatu itu sendiri, seperti penggambaran pikiran kita terhadap seekor kuda atau seperti suatu gambar yang tergores di atas dinding. Gambar seekor kambing di atas dinding tersusun dari gabungan warna-warna, oleh karena itu, pada hakikatnya gambar itu merupakan askiden, sementara seekor kambing yang hakiki adalah sejenis substansi bendawi. Akan tetapi dengan perbedaan esensial ini, gambar seekor kambing merupakan suatu cerita dan cermin dari seeokor kambing hakiki. Konsepsi kambing dalam pikiran kita juga merupakan perkara yang aksidental dan kategori kualitas rasional, maka dari itu, dari dimensi esensial berbeda dengan kambing yang hakiki dimana merupakan suatu kategori substansi (lawan dari aksiden).

Gagasan terhadap definisi tersebut banyak di anut oleh kaum materialisme yang kemudian berujung pada Sophisme yang mengingkari pengetahuan hakiki terhadap realitas-realitas dan objek-objek eksternal, karena apabila seluruh ilmu, persepsi, dan pengetahuan kita tidak sesuai secara esensial dengan objek-objek eksternal dan hanyalah merupakan banyangan dari objek-objek itu, maka apa-apa yang kita ketahui dan pahami adalah bayangan benda-benda eksternal dan bukanlah benda-benda eksternal itu sendiri, walhasil kita mustahil dapat mencerap dan menggapai perkara-perkara eksternal sebagaimana mestinya.  

Perlu ditegaskan kembali bahwa satu-satunya jalur yang menghubungkan kita dengan objek-objek eksternal ialah konsepsi-konsepsi pikiran. Konsepsi-konsepsi pikiran kita terhadap gunung, daratan, laut, langit, manusia-manusia, dan benda-benda lain yang apabila tidak bersesuaian secara esensial dengan benda-benda eksternal, maka segala konsepsi pikiran kita adalah realitas yang lain yang berbeda dengan perkara-perkara eksternal. Jadi dalam hal ini, kita mustahil mengetahui dan memahami perkara-perkara luar, dan pada hakikatnya, kalau kita mempunyai “pengetahuan”, maka “pengetahuan” itu adalah kejahilan dan kebodohan, bukanlah ilmu dan pengetahuan yang hakiki dan sebagaimana adanya. Dengan demikian, kita akan terjebak ke dalam paham Sophisme.

Apabila  kita menerima definisi tersebut, maka tidak terdapat lagi perbedaan antara pengetahuan dan sejenis kebodohan (yakni seseorang merasa mengetahui sesuatu padahal dia sesungguhnya tidak mengetahui). Jadi, Segala pengetahuan manusia merupakan sejenis kebodohan dan sama sekali tidak mempunyai nilai dan makna. Begitu pula, tak satupun dari pengetahuan dan persepsi manusia adalah sejenis penyingkapan dan pengungkapan dari suatu realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita sama sekali tak memiliki pengetahuan terhadap objek-objek eksternal. Berkaitan dengan ini, filosof Iran, Murtadha Muthahhari, berkata, “Apabila yang terdapat di alam eksternal berbeda dan tidak bersesuaian secara esensial dengan pengetahuan dan konsepsi kita maka tidak terdapat satu pun argumen dan dalil yang dapat digunakan untuk menegaskan keberadaan objek-objek eksternal itu sendiri.”[17] 

h. Pengetahuan didefinisikan sebagai cahaya dan kehadiran

Sebagian beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan cahaya, karena maujud itu terbagi menjadi: cahaya dan bukan cahaya. Keberadaan maujud yang tak bercahaya membutuhkan maujud yang bercahaya. Cahaya secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan yang lain. Dengan demikian, apa yang secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan sesuatu bagi jiwa tidak lain adalah cahaya itu sendiri.

Akan tetapi, karena cahaya secara hakiki adalah wujud itu sendiri, dengan demikian, permasalahan mendasar pada definisi ini adalah bahwa karena pengetahuan itu terbagi ke dalam tashawwur (conception), tashdiq (judgement), universal, dan partikular, sementara wujud itu sendiri (yang disamakan dengan cahaya) – yang karena bukan suatu kategori hubungan, melainkan kategori emanasi[18] – tidak dapat dibagi sebagaimana pengetahuan, maka dari itu, definisi ini tidaklah sempurna dan komprehensif.[19]  

i. Pengetahuan didefinsikan sebagai “wujud itu sendiri”

Pengetahuan adalah wujud itu sendiri, karena selain hakikat wujud adalah ketiadaan, konsepsi, dan kuiditas. Ketiadaan adalah kegelapan mutlak dan kuiditas secara esensial adalah tak berwujud dan juga bukan tiada mutlak dimana akan menjadi ada karena wujud dan tanpa wujud kuiditas mustahil mengada. Dan segala sesuatu yang hadir pada ‘alim secara esensial adalah dengan media dan perantara wujud, sebagaimana segala sesuatu akan mengada dengan perantaraan wujud. Segala pengetahuan, seperti pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia, pengetahuan terhadap substansi, aksiden, dan konsepsi-konsepsi lain yang mempunyai lebih dari dua kategori filsafat adalah bukan dari jenis kuiditas (mahiyah), melainkan dari jenis wujud dan juga terabstraksi dari hakikat-hakikat. Dan wujud adalah suatu hakikat yang dimiliki sama oleh Tuhan dan selain-Nya. Mulla Sadra menyatakan bahwa ilmu dan pengetahuan ialah wujud murni yang tidak bercampur dengan sejenis ketiadaan, atau pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri.[20] Walhasil, hakikat pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri dan tetap (permanen), dan karena wujud materi itu senantiasa berubah maka dari itu tidak bisa dikatakan sebagai pengetahuan.

j. Pengetahuan didefinisikan sebagai kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim)

Apabila ingin diajukan suatu definisi yang lebih akurat dan teliti tentang pengetahuan dimana bisa mencakup seluruh bagian dan cabang pengetahuan, maka mestilah dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim). Dalam ilmu hushuli, kehadiran objek pengetahuannya di alam jiwa adalah tidak secara langsung atau mediated, melainkan hadir dalam bentuk dan gambaran dari objek eksternal. Sementara dalam ilmu hudhuri, kehadiran objek pengetahuannya adalah secara langsung atau immediate.        

Definisi pengetahuan mestilah meliputi dan mencakup seluruh bagian pengetahuan seperti kehadiran objek ilmu itu sendiri, gambaran partikular, atau konsepsi universalnya dalam realitas jiwa dan pikiran yang nonmateri.[21] Definisi ini bisa mencakup ilmu hushuli dan hudhuri serta segala kategori rasional.

k. Pengetahuan didefinisikan sebagai “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas

Definisi lain yang berhubungan dengan pengetahuan dan makrifat dimana  mayoritas diterima adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas.[22] Definisi ini akan dikupas secara lebih luas dan terperinci karena lebih universal, lebih sempurna, dan lebih komprehensif serta mayoritas diterima oleh kalangan filosof dan urafa. Definisi ini lebih menyentuh pada wilayah makrifat dan pengetahuan hakiki, oleh karena itu, akan dijadikan sebagai landasan dan pijakan utama dalam penyusunan berbagai pembahasan dan pengkajian epistemologi pada makalah ini.

2. Pengetahuan Hakiki

Pengetahuan dan makrifat hakiki yang sebagaimana telah didefinisikan di atas memiliki rukun-rukun seperti, keyakinan yang tetap, kesesuaian (objektivitas), dan realitas atau nafs al-amr. Di bawah ini kami akan uraikan dan jelaskan rukun-rukun tersebut.

a. Keyakinan dan Kebenaran

Keyakinan yang berhubungan dengan keraguan, khayalan, dan sangkaan terdapat dua dimensi. Keyakinan bahwa A adalah B dan keyakinan bahwa kalau tidak seperti itu adalah kekeliruan. Inti dari kedua bentuk ini adalah keyakinan dalam khayalan dan keyakinan dalam kesalahan. Ia memiliki keyakinan atas suatu realitas, namun pada hakikatnya, keyakinannya itu adalah keliru dan salah. Selain keyakinan bentuk itu, terdapat keyakinan lain seperti kalau dikatakan bahwa 2 + 2 = 4, keyakinan ini juga memiliki dua bentuk: yakin bahwa penjumlahan tersebut adalah benar dan yakin bahwa kalau tidak seperti itu merupakan kesalahan dan kekeliruan. Karena kalau keyakinan kedua ini adalah salah, maka niscaya keyakinan pertama adalah juga keliru.[23]

Para filosof muslim, dengan keberadaan syarat ini (keyakinan kedua), beranggapan bahwa keyakinan kepada perkara-perkara yang partikular dan senantiasa berubah itu tidak tergolong kedalam keyakinan kedua itu, karena pengetahuan kepada sesuatu yang senantiasa berubah, dalam keadaan sesuatu itu berubah, maka pengetahuan kepada sesuatu itu juga akan berubah dan sirna. Sebagai contoh, pengetahuan kita tentang “Ahmad duduk” ini adalah bentuk keyakinan pertama, bukan keyakinan kedua, karena sangat mungkin Ahmad tidak seperti itu lagi, melainkan “Ahmad berdiri”, yakni tidak duduk lagi. Akan tetapi, pengetahuan kita tentang “tiga ialah angka ganjil” niscaya memiliki kedua keyakinan tersebut, karena keganjilan angka tiga mustahil berubah. Oleh sebab itu, keyakinan kepadanya tidak akan berubah dan sirna.[24]

Namun, ada hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara “keyakinan” dan “objek yang diyakini”, dan adanya perubahan pada “objek yang diyakini” tidak mengharuskan perubahan pada “keyakinan”. Harus dipahami bahwa syarat penting dan mendasar dalam pengetahuan hakiki adalah ketetapan pada “keyakinan”, bukan ketetapan pada “objek yang diyakini”, karena kalau “duduknya Ahmad” itu adalah sesuatu yang diyakini, maka keyakinan ini tidak akan tergolong sebagai kejahilan, walaupun kemudian “Ahmad berdiri”. Hal ini dikarenakan, keyakinan kepada “duduknya Ahmad” pada zaman dan tempat tertentu adalah bersifat tetap, walaupun “duduknya Ahmad” itu tidaklah abadi. Khususnya, apabila pengetahuan dan keyakinan berhubungan dengan perkara-perkara internal jiwa dan ilmu hudhuri, seperti pengetahuan kepada kebahagiaan pada zaman tertentu atau kemalangan pada zaman tertentu. Pengetahuan dan keyakinan ini senantiasa bersifat tetap dan konstan, yakni keyakinan kepada kebahagiaan pada zaman dan hari tertentu adalah bersifat abadi dan keyakinan ini tidak akan berubah dengan karakteristiknya itu. Yang diperlukan dalam ilmu, makrifat, dan pengetahuan hakiki adalah ketetapan keyakinan yang sesuai dengan realitas, dan bukan ketetapan pada objek ilmu.

Perlu diperhatian bahwa yang hendak dituju dalam segala pengetahuan manusia adalah kaidah-kaidah universal. Kaidah-kaidah universal ini memiliki subjek dan predikat yang juga universal, bukan bersifat partikular dan senantiasa berubah. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan para filosof muslim ke arah keyakinan yang tetap dan abadi. Namun, perkara ini jangan salah dipahami bahwa syarat pengetahuan hakiki dalam epistemologi adalah juga ketetapan dan keabadiaan objek-objek yang diyakini.

Walhasil, pengetahuan hakiki adalah keyakinan tetap yang sesuai dengan realitas, yakni tidak terdapat kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan, seperti ilmu hudhuri, aksiomatik-aksiomatik kategori pertama, dan teori-teori yang berpijak kepada aksiomatik tersebut. Sementara pengetahuan-pengetahuan yang bersifat skeptikal, opini, dan presumtif serta ilmu-ilmu empirik tidak tergolong ke dalam definisi tersebut, kecuali bisa disandarkan kepada pengetahuan hakiki dalam bentuk-bentuk yang logikal.

b. Kesesuaian, korespondensi, dan Objektivitas

Rukun kedua dalam definisi tersebut mengenai objektivitas, yakni kesesuaian dan keidentikan keyakinan dengan realitas.

Kesesuaian dalam masalah kuantitas seperti satu meter kain bersesuaian dengan benda lain dari segi ukuran, warna dan volume. Persoalan yang prinsipil adalah apa makna kesesuaian, korespondensi, keidentikan, dan objektivitas dalam pengetahuan dan makrifat?

Jelas sekali bahwa kesesuaian dan objektivitas dalam makrifat adalah bukan bermakna kesamaan dan kesatuan secara sempurna dan juga bukan berarti berlawanan secara sempurna, karena dalam kesesuaian terdapat hubungan antara pengetahuan dan objeknya. Dualitas ini (pengetahuan dan objeknya) pada dasarnya sebagai penghalang kesesuaian dan objektivitas. Pada sisi lain, karena ada asumsi kesesuaian, dengan demikian jika terdapat perbedaan yang sempurna, maka tidak dikatakan ada kesesuaian.

Sebagian filosof mendefinisikan kesesuaian itu sebagai “hal yang tidak berlawanan”, yakni kalau keyakinan itu dalam bentuk proposisi positif, maka realitas objeknya pun harus menceritakan tentang proposisi yang bersifat positif tersebut. Begitu pula pada keyakinan yang berbentuk proposisi negatif.[25]

Sebagian filosof lain beranggapan bahwa terdapat tiga syarat dalam masalah objektivitas dan kesesuaian:

a.                   Penganalogian;

b.                   Kesatuan antara analogi dan yang dianalogikan;

c.                   Berlakunya hukum bahwa “ini adalah itu”.[26]

Tentang objektivitas itu mungkin bisa diajukan suatu kritik bahwa apabila pengetahuan itu adalah bersifat abstrak, sementara sebagian realitas dan objek ilmu itu adalah materi, lantas bagaimana objektivitas itu bisa terwujud sementara syaratnya mesti sejenis?

Atau bisa dipertanyakan bahwa bagaimana objektivitas itu bisa dipertanggung jawabkan sementara yang ada pada kita hanya pengetahuan dan bukan objek pengetahuannya?

Untuk persoalan pertama bisa dijelaskan bahwa syarat utama dalam objektivitas adalah pencerminan dan penceritaan. Dan dalam pencerminan dan penceritaan tersebut adalah tidak penting adanya persatuan antara “cerita” dan “objek yang diceritakan”. Sebagai contoh, sebuah cermin yang memantulkan benda-benda. Mayoritas sesuatu yang dipantulkannya itu ialah tidak sejenis dengan zat cermin, akan tetapi, ia dapat manampakkannya. Cermin itu terbuat dari kaca, namun bisa memantulkan benda-benda seperti batu, kayu, macam-macam warna dan volume, yang tidak sejenis dengannya. Dengan demikian, penampakan dan penceritaan itu tidak membutuhkan adanya kesesuaian spesies, genus, atau semacamnya.

Mengenai persoalan kedua akan diuraikan pada pembahasan yang akan datang. Dan di bawah ini akan disinggung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan objektivitas:

Keberadaan dan Ketiadaan       

Keyakinan kepada “Tuhan ada”, “benda ada”, “jiwa ada”, dan “kebahagiaan ada”, atau “sekutu Tuhan tiada”, “manusia dengan empat tanduk tiada”, adalah berkaitan dengan keberadaan dan ketiadaan. Oleh karena itu, objektivitas suatu keyakinan juga berkaitan dengan keberadaan dan keyakinan itu. Objektivitas ini bermakna bahwa sebagaimana suatu proposisi menceritakan sesuatu yang berada, maka sesuatu yang diceritakan pun benar-benar terwujud di alam eksternal, begitu pula kalau suatu proposisi menceritakan tentang ketiadaan, maka “sesuatu” yang diceritakan itu pun niscaya tiada dan tidak berwujud di alam eksternal.

Sifat Keberadaan dan Ketiadaan  

Kesesuaian dalam sifat keberadaan dan ketiadaan dengan makna penceritaan dan pencerminan realitas sebagaimana adanya. Sebagai contoh, Tuhan Wâjibul Wujud, Ali mumkinul wujud, api sebab, jiwa sebab dan kehendak akibat, atau sekutu Tuhan mustahil. Dalam contoh-contoh tersebut diungkapkan tentang sifat-sifat eksistensi ( seperti Wajibul Wujud, mumkinul wujud, sebab, akibat) atau sifat-sifat ketiadaan (seperti mustahil). Objektivitas dalam masalah ini berarti bahwa terwujudnya sifat-sifat tersebut di alam eksternal, atau menyatunya sesuatu dengan sifat-sifat itu di alam eksternal. Ketika kita katakan: Tuhan Wajibul Wujud, yakni disamping Tuhan itu berwujud, juga kewujudan-Nya bersifat Wajibul Wujud (mesti-ada). Kesesuaian dalam pengetahuan ini ialah bahwa Tuhan benar-benar mempunyai sifat tersebut, yakni wujud-Nya adalah niscaya. Sementara mengenai proposisi: sekutu Tuhan mustahil, ini bermakna bahwa sekutu Tuhan itu tidak berwujud dan mustahil akan terwujud. Objektivitas dalam pengetahuan ini adalah ketiadaan sekutu Tuhan dan kemustahilan keberwujudan-Nya.

Kuiditas eksternal dan hakiki   

Kuiditas-kuiditas eksternal dan hakiki seperti benda, kayu, putih, hitam, manis, sakit, bahagia, jiwa, dan semisalnya.

Filosof muslim dalam masalah ini menafsirkan objektivitas dan kesesuaian itu dengan kesatuan kuiditas. Yakni kuiditas tunggal yang ternampakkan dan termanifestasikan dalam dua bentuk eksistensi: pertama adalah wujud eksternal dan memiliki pengaruh eksternal, dan kedua adalah wujud di alam pikiran dan mempunyai efek di alam pikiran (perlu diketahui bahwa antara wujud – baik di alam eksternal maupun di alam pikiran – dan pengaruhnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, keterpisahan di antara keduanya hanya dalam analisis rasional). Kesatuan kuiditas inilah sebagai tolok ukur objektivitas dan kesesuaian pengetahuan dan objeknya. Namun, untuk terhindar dari berbagai kritikan atas konsep kesatuan kuiditas ini, mereka lantas mengajukan bentuk predikasi pertama (primary predication) dan predikasi umum/biasa (common predication). Gagasan puncak kesatuan kuiditas tersebut ialah bahwa segala gambaran pikiran merupakan cermin dan cerita dari kuiditas-kuiditas eksternal, dan bukan berarti bahwa kuiditas-kuiditas eksternal itu sendiri secara hakiki hadir dan terwujud dalam pikiran. Melainkan apa-apa yang terwujud di alam pikiran seperti gambaran tentang api merupakan realitas pencerminan yang benar  untuk kuiditas api eksternal dan hakiki, dan bukanlah kuiditas api hakiki yang benar-benar hadir di alam pikiran, karena kalau terjadi demikian, maka kita akan terbakar ketika menggambarkan tentang api hakiki. Secara tegas bisa dikatakan bahwa yang hadir di alam pikiran ialah wujud api yang minus pengaruh membakar, sementara di alam luar yang hadir adalah wujud api dengan pengaruhnya.

Jadi objektivitas dalam hal di atas adalah sifat pencerminan dan penceritaan terhadap objek-objek eksternal itu sendiri.

·        Karakteristik-karakteristik konsepsi pikiran     

“Konsepsi manusia adalah universal” adalah suatu proposisi yang menjelaskan tentang sifat dan kerakteristik konsepsi manusia. Objektif dan non-objektifnya penjelasan dan pencerminan sangat bergantung kepada apakah konsepsi manusia tersebut secara hakiki memiliki kerakteristik itu ataukah tidak. Apabila konsepsi manusia mempunyai kemampuan mencakup banyak individu dan bersifat universal, maka pencerminan dan penjelasan tersebut mempunyai objektivitas. Jika segala konsepsi yang hadir di alam pikiran dengan cara ilmu hudhuri, maka keberadaan dan ketiadaan karakteristik ini dalam konsepsi manusia juga akan diketahui dengan ilmu hudhuri. Oleh karena itu, objektivitas dan ketiadaan objektivitasnya pun hanya akan dipahami dengan ilmu hudhuri.

Walhasil, setiap proposisi yang menceritakan dan mencerminkan suatu realitas, apabila pencerminan ini sebagimana yang ada, maka objektivitas akan terwujud. Yang perlu diketahui bahwa realitas itu bermacam: realitas eksistensial, non-eksistensial, dan realitas-realitas lainya.

c. Realitas itu sendiri (nafs al-amr)

Rukun ketiga pengetahuan hakiki adalah realitas, karena makrifat hakiki bersesuaian dengan realitas. Persoalan mendasar dan penting adalah: apa realitas itu? Apakah realitas itu objek-objek eksternal, maujud-maujud eksternal, maujud-maujud materi, atau meliputi juga maujud-maujud nonfisik? Apakah realitas itu juga meliputi konsepsi-konsepsi pikiran, kondisi-kondisi internal jiwa, dan perkara-perkara tiada serta sifat-sifat ketiadaan?

Yang biasa hadir dalam pikiran kita tentang “realitas” itu ialah maujud-maujud fisik dan eksternal, seperti yang dikatakan dalam proposisi: hujan sedang turun, dimana merupakan perkara fisikal dan eksternal. Sementara kita banyak bergelut dengan proposisi-proposisi kelimuan yang diyakini dimana tidak berhubungan dengan objek-objek material dan fisikal, atau bahkan terkait dengan hal-hal yang tidak berwujud, seperti proposisi: Tuhan ada, sekutu Tuhan tiada, kemustahilan menyatunya hal-hal yang berlawanan, Husain tidak memiliki anak, dan proposisi-proposisi semisalnya. Proposisi-proposisi yang menceritakan tentang alam internal jiwa dan pikiran seperti: saya bahagia, saya sakit kepala kemarin, konsepsi manusia adalah universal, konsepsi tentang Hasan adalah partikular, dan lain sebagainya. Dengan demikian, domain “realitas” lebih umum dan lebih luas dari realitas-realitas indrawi, fisikal, dan bahkan hal-hal yang berwujud. Oleh karena itu, semestinya permasalahan tersebut dipandang secara lebih teliti dan cermat sehingga bisa dirumuskan suatu gagasan yang lebih universal, komprehensif, dan sempurna.

Sebelum kami mengungkapkan beragam interpretasi tentang “realitas” ini, alangkah baiknya kita memperhatikan poin penting ini bahwa sebagian filsosof Islam[27] menamakan “realitas” yang terkait dengan non-eksistensial, ketiadaan, dan perkara-perkara pikiran sebagai “realitas itu sendiri” (nafs al-amr). Mereka ini kemudian berupaya menjelaskan dan menafsirkan tentang nafs al-amr tersebut. Di bawah ini akan disebutkan beragam interpretasi dan pandangan dalam masalah ini:

·        Alam akal atau akal aktif (al-aql al-fa’âl, active intellect)

Sebagain filosof memandang nafs al-amr itu sebagai alam akal ( intelligible world) atau akal aktif (active intellect), yakni apabila capaian-capaian ilmu dan pengetahuan sesuai dengan apa yang ada pada akal aktif, maka disebut benar dan sesuai dengan realitas, dan kalau tidak demikian, maka dikatakan sebagai kebohongan dan kesalahan.[28] Untuk gagasan dan perspektif ini, mereka menyusun argumentasi.[29]

·        Sesuatu yang sebagaimana adanya

Sebagian yang lain menafsirkan nafs al-amr tersebut sebagai “sesuatu yang sebagaimana adanya”. Ketika dikatakan bahwa sesuatu yang terwujud dalam nafs al-amr, yakni sesuatu yang hadir dalam tingkatan zatnya sendiri, atau bermakna bahwa sesuatu yang memiliki wujud dan realitas dalam batasan zat-nya sendiri (yang terlepas dari asumsi dan perspektif para pemikir tentangnya) dengan tak memandang apakah berada di alam eksternal atau di alam pikiran. Seperti keuniversalan konsepsi manusia adalah nafs al-amr, karena universalitas itu merupakan sifat dari konsepsi manusia secara riil, akan tetapi keganjilan angka lima ialah bukan nafs al-amr dan tak nyata, karena walaupun keganjilan angka lima dikonsepsi dalam pikiran, akan tetapi ia terwujud berdasarkan suatu asumsi.[30] Dan juga sebagian menerjemahkan kata “al-amr” itu sebagai “sesuatu” dan “nafs” sebagai “diri”, jadi nafs al-amr adalah “diri sesuatu” atau “sesuatu itu sendiri”.[31] Sebagian lain beranggapan bahwa “realitas setiap sesuatu” itu merupakan nafs al-amr-nya setiap sesuatu itu sendiri.[32]  

·        Ilmu Ilahi

Sebagian filosof disamping mengartikan nafs al-amr sebagai alam akal dan juga ilmu Ilahi. Ilmu Ilahi menyatu dengan zat suci-Nya dan nafs al-amr-nya segala sesuatu berada pada derajat Ilahi dan merupakan hakikat segala sesuatu itu.[33]

·        Hati manusia, jiwa universal, lauh mahfuz, dan alam mitsal

Selain makna-makna di atas, sebagian menambahkan makna nafs al-amr itu sebagai hati (qalb) manusia, jiwa universal, lauh mahfuz (preserved table), dan alam mitsal (imaginal world, mundus imaginalis).

·        Derajat wujud dan alam transendental (transcendental word)

Pada umumnya para arif dan sufi yang menggunakan makna-makna tersebut untuk “realitas itu sendiri” atau nafs al-amr. Segala realitas yang berada di alam rendah (alam materi dan alam imaginal) ialah pancaran dan manifestasi dari alam transcendental atau alam akal. Nafs al-amr adalah sesuatu yang mengandung makna-makna dan bentuk-bentuk kebenaran. Dan seluruh makna-makna dan bentuk-bentuk kebenaran harus sesuai dengan nafs al-amr. Dikatakan bahwa segala sesuatu adalah akal dan begitu pula sebaliknya, akal adalah segala sesuatu, karena keuniversalan, sifat-sifat, dan bentuk-bentuk segala sesuatu terdapat di alam akal (intelligible world).[34]   

·        Wadah eksternal bagi kehadiran proposisi

Mudarris Zanuzy mendifinisikan nafs al-amr tersebut sebagai wadah eksternal kemunculan proposisi, yakni metaproposisi dan apa-apa yang diceritakan dan digambarkan oleh proposisi merupakan nafs al-amr-nya proposisi dan pengetahuan itu.[35]

·        Kehadiran dan keberadaan mutlak

Allamah Thabathabai merumuskan nafs al-amr itu sesuai dengan kehadiran mutlak (yakni mencakup segala eksistensi, kuiditas, kategori kedua filsafat dan logikal). Wujud adalah yang prinsipil, fundamental, dan sumber kehadiran hakiki. Dan karena bersandar pada eksistensi akal, kuiditas pun dikategorikan sebagai suatu bentuk kehadiran. Begitu pula, segala kategori kedua filsafat dan logikal dipandang sebagai bentuk-bentuk kehadiran dan keberadaan. Dengan demikian, suatu wadah yang ditetapkan oleh akal untuk keberadaan dan kehadiran mutlak adalah nafs al-amr dimana meliputi segala proposisi yang benar yang berada di alam pikiran dan alam eksternal serta juga mencakup semua proposisi yang tidak memiliki kesesuaian di alam pikiran dan di alam eksternal.[36] Disamping makna-makna nafs al-amr tersebut, proposisi universal yang sesuai dengan ilmu-ilmu hudhuri di alam akal juga dikategorikan kedalam makna nafs al-amr.[37]

·        Realitas setiap sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri

Nafs al-amr-nya setiap sesuatu adalah realitas sesuatu itu sendiri dan realitas sesuatu berdasarkan hakikat dan esensinya. Realitas itu meliputi maujud-maujud eksternal, maujud jiwa, konsepsi-konsepsi pikiran dan kareakteristiknya, perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan, seperti sekutu Tuhan tiada atau ketiadaaan sebab merupakan sebab bagi ketiadaan akibat.[38]  

·        Wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi

Maksud dari nafs al-amr selain daripada realitas eksternal dan hakiki adalah wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi dimana berbeda berdasarkan aspek-aspeknya. Untuk aspek derajat khusus dari pikiran, seperti proposisi logikal dan aspek kehadiran eksternal yang diasumsi, seperti objek-objek proposisi kemustahilan menyatunya dua hal yang berlawanan serta dalam aspek penyandaran eksternal secara aksidental, seperti ketiadaan sebab ialah sebab bagi ketiadaan akibat.[39]

·        Realitas itu sendiri (nafs al-amr) meliputi wujud dan kewujudan, tiada dan ketiadaan, alam pikiran dan alam eksternal, perkara-perkara kejiwaan, serta materi dan non-materi

Keinginan kita atas realitas setiap proposisi mestilah disusun berdasarkan pencerminan proposisi tersebut. Realitas setiap proposisi dan segala sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri. Realitas bagi proposisi-proposisi ketiadaan adalah tiada, realitas bagi proposisi-proposisi yang mewakili alam pikiran, dan konsepsi-konsepsi pikiran, karakteristik dan sifat-sifatnya ialah pikiran itu sendiri. Bahkan realitas bagi perkara-perkara yang bersifat asumsi dan nisbi adalah juga nisbi. Menurut sebagian filosof Islam, realitas dan kenyataan itu sama dengan wujud dan eksistensi, oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa setiap proposisi senantiasa menceritakan tentang keberadaan. Hal ini kurang tepat, karena realitas setiap proposisi itu sesuai dengan takaran pencerminannya.

Untuk lebih jelasnya kajian ini, perlu memperhatikan poin-poin penting berikut ini:

1. Kesesuaian dan objektivitas hadir dalam beberapa tempat:

·        Dari dimensi gradasi hakikat alam-alam eksistensi;

·        Ilmu tertinggi dan ilmu terendah serta hakikat yang rendah itu diliputi dan diketahui oleh hakikat yang tinggi, yakni kesesuaian antara ilmu tertinggi dengan ilmu terendah;

·        Ilmu hakiki setiap manusia tidak bertolak belakang dengan ilmu dan pengetahuan yang tertinggi;

·        Ada tidaknya kesesuaian proposisi dengan objeknya sangat bergantung dengan apa-apa yang diceritakan oleh proposisi itu.

Apa yang menjadi pembahasan dan pengkajian dalam epistemologi adalah makna keempat dari objektivitas dan tak berhubungan dengan derajat tertinggi alam, tingkatan wujud dan akal aktif, walaupun pernyataan ini dibenarkan dalam kajian gnosis dan diterima oleh sebagian filosof, akan tetapi pandangam mereka ini mengenai nafs al-amr telah keluar dari inti perdebatan. Sebagian filosof mengkritik gagasan mereka ini dan berkata bahwa jika kita menerima makna objektivitas itu maka bagaimana menyesuaikan ilmu-ilmu yang ada di akal aktif itu dengan realitas, walaupun dikatakan bahwa kebenaran dan keyakinan sesuai dengan realitas, namun pertanyaan tidak akan berhenti sebelum mengungkap hakikat realitas.[40]

2. Harus dibedakan antara kehadiran ilmu di alam pikiran (yang masih bersifat pembuktian-pembutkian rasional dan belum dipastikan objektivitasnya) dan kehadiran ilmu di alam eksternal (yakni pengetahuan nyata yang objektif), yakni walaupun ilmu tertinggi, khususnya ilmu Tuhan ialah menyatu dengan zat-Nya dan tidak terdapat sedikitpun kekeliruan dan kesalahan di dalamnya serta sesuai dengan realitas. Dengan demikian, setiap ilmu dan pengetahuan yang sesuai dengan ilmu Tuhan itu niscaya sesuai pun dengan realitas, akan tetapi, pembahasan kita berada dalam wilayah kehadiran ilmu di alam pikiran dan kita menegaskan wujud dan ilmu Tuhan itu lewat kesesuaian pengetahuan dengan realitas khususnya dengan aksioma pertama, oleh karena itu pertama-tama kita mesti menentukan nafs al-amr dan objek-objek proposisi – dengan tidak memperhatikan dulu wujud dan ilmu tertinggi Tuhan – sehingga nantinya dengan mengikuti alur pembahasan ontologi dan gnosis kita akan sampai pada konstruksi pembahasan tersebut.

3. Penggunaan ungkapan “kenisbian rasionalitas” dan “wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi” serta semacamnya adalah bersifat dualisme dan keliru, karena kalau maksud dari penggunaan ini adalah bahwa nafs al-amr itu tidak ada, maka konsekuensinya adalah menafikan kesesuaian dan objektivitas proposisi. Akan tetapi apabila maksudnya ialah bahwa pikiran itu tidak bisa mengabarkan tentang hal-hal yang tiada dan perkara-perkara yang mustahil secara langsung, maka dari itu, pertama-tama diasumsikan sejenis kehadiran bagi hal-hal yang tiada dan mustahil itu dan kemudian kehadiran asumsional ini ditempatkan sebagai media pencerminan dan penceritaan bagi objek-objek yang dikonsepsi. Namun alasan seperti ini sulit diterima dan dualisme ini tidak ditemukan di dalam ungkapan-ungkapan dari filosof-filosof besar dan terkenal.     

4. Kita jangan menyamakan “realitas” itu dengan “keberadaan eksternal”, karena “realitas” tersebut – sebagaimana yang telah dijelaskan – akan berbeda-beda dalam setiap proposisi dimana tergantung pada konteks pencerminan dan penceritaan objek-objeknya, terkadang proposisi itu mencerminkan suatu eksistensi dan eksistensial, atau tiada dan ketiadaan. Dan kehadiran asumsional dan kenisbian itu kemungkinan bersumber dari suatu asumsi yang salah, yakni menyamakan “realitas” itu dengan “keberadaan hakiki” dan “kehadiran eksternal”.

5. Harapan kita dari setiap proposisi sebatas jangkauan implikasi dan batasan pencerminannya. Kalau suatu proposisi berbunyi: anak Yazid tiada, maka harapan kita mesti terbatas pada ketiadaan anak Yazid dan bukan pada keberadaan dan kehidupannya. Dengan kata lain, realitas setiap proposisi itu ditentukan oleh pencerminan dan implikasinya, pencerminannya terhadap ketiadaan akan menuntut realitas ketiadaan dan penceritaannya terhadap keberadaan akan menuntut realitas keberadaan dan eksistensial.  

6. Sebagian berpendapat bahwa penafsiran nafs al-amr dengan “sesuatu itu sendiri” dan “sesuatu yang sebagaimana adanya” adalah sangat terbatas dikarenakan “tiada dan ketiadaan” itu tidak bisa dipandang sebagai “sesuatu”. Akan tetapi pendapat ini tidaklah benar dan berpijak pada asumsi yang keliru (yakni mengasumsikan bahwa realitas itu mestilah yang eksistensial dan berwujud). Jadi, penafsiran tersebut ialah paling akurat untuk makna nafs al-amr.    

7. Interpretasi nafs al-amr dengan makna “metaproposisi”, “wadah eksternal bagi kehadiran proposisi”, atau “apa yang diberitakan oleh pengetahuan” adalah penafsiran-penafsiran yang benar dikarenakan mencakup perkara-perkara eksistensial dan ketiadaan serta meliputi segala aspek realitas.

8. Makna nafs al-amr yang berbunyi: realitas setiap sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri, adalah inti dari semua pemaknaan dan penafsiran tentang nafs al-amr.

Dengan memperhatikan delapan poin di atas menjadi jelaslah bahwa makna dan penafsiran kesepuluh (realitas dan nafs al-amr meliputi wujud dan kewujudan, tiada dan ketiadaan, alam pikiran dan alam eksternal, perkara-perkara kejiwaan, serta materi dan non-materi) tentang nafs al-amr adalah yang terbaik, tersempurna, dan paling komprehensif di antara ide dan gagasan lain tentangnya.

Kritikan untuk makna ketujuh nafs al-amr (kehadiran dan keberadaan mutlak) secara ringkas dapat dikatakan: pertama, karena kuiditas itu merupakan batasan wujud maka dari itu bisa diberitakan; kedua, kategori-kategori kedua filsafat adalah maujud itu sendiri, bersifat hakiki, dan tidak majasi; ketiga, kategori-kategori kedua logikal adalah sifat hakiki bagi konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran dan juga menyatu dengan konsepsi itu.

Kehadiran dan perwujudan maujud-maujud di alam eksternal bisa digambarkan dalam empat bentuk:

1.                   Maujud-maujud mempunyai individu-individu hakiki secara langsung, seperti wujud Tuhan dan substansi-substansi;

2.                   Dapat menyatu dengan maujud-maujud lain, akan tetapi memiliki eksistensi tersendiri, seperti aksiden-aksiden;

3.                   Menyatu dengan maujud yang lain, seperti sifat-sifat Tuhan yang berwujud, namun senantiasa menyatu dengan zat-Nya. Wujud sifat-sifat ini tidak berdiri sendiri dan juga tidak seperti wujud-wujud aksiden, akan tetapi kewujudannya sama halnya dengan seluruh kategori kedua filsafat dan logikal;

4.                   Batasan bagi maujud-maujud, seperti kuiditas atau seperti permukaan, garis, dan titik yang merupakan batasan wujud benda. Semua hal ini memiliki keberadaan hakiki, baik yang bersifat prinsipal (seperti wujud) maupun yang bersifat sekunder dan bukan majasi mutlak (seperti kuiditas);

Kesimpulan mengenai pengetahuan hakiki dan definisinya:

1.     Makrifat dan pengetahuan hakiki adalah keyakinan tetap yang sesuai (objektif) dengan realitas;

2.     Yang utama dan inti dalam epistemologi adalah pengetahuan dan keyakinan yang bersesuaian dengan realitas, dan bukan pengabaran dan pemberitaan yang bersifat tekstual yang terkait dengan objek-objek pengetahuan. Pembahasan dan problematika seputar proposisi-proposisi tekstual dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di dalamnya jangan sampai dikaitkan dengan pengetahuan dan keyakinan serta proposisi-proposisi pikiran (mental proposition);

3.     Terdapat dua poin penting yang dapat ditarik dari definisi pengetahuan hakiki: pertama, keyakinan yang sesuai dengan realitas dan bukan kata-kata tekstual yang sesuai dengan realitas; kedua, realitas itu jangan dipandang sebagai sesuai dan tidak sesuainya pengetahuan itu dengannya (yakni realitas itu mesti dilihat sebagai pengetahuan yang hanya sesuai dengannya), karena kalau demikian, tidak akan pernah terwujud kesesuaian dengan realitas.

Apabila seseorang menyatakan: “berita yang saya sampaikan ini adalah bohong” atau “semua pemberitaan saya adalah bohong”, maka sesungguhnya orang ini menyampaikan segala kebohongan atas pemberitaannya, yakni pada hakikatnya pemberitaannya tidak sesuai dengan realitas. Di sini, syarat-syarat yang diperlukan tidak terpenuhi, syarat yang dibutuhkan itu ialah “berita dan kabar yang sesuai dengan realitas, dan bukan sesuai dan tidak sesuainya kabar dan beritanya dengannya. Dengan ungkapan lain, “realitas” itu mestilah suatu perkara dimana berita, ilmu dan pengetahuan sesuai dengannya. Realitas itu bukanlah kesesuaian dan ketidaksesuaian itu sendiri. Dan apabila “realitas” itu dipandang juga sebagai ketidaksesuaian berita dan ilmu dengan realitas (A), maka kita bisa menganalisa kata realitas yang kedua itu (A), apa realitas (A) ini?. Akan dikatakan bahwa realitas (A) ini bukanlah sesuatu yang berwujud, karena pemberitaan suatu berita haruslah sempurna sehingga bisa dikaitkan dengan kesesuaian dan ketidaksesuaian, dan apabila sebelum adanya penyempurnaan suatu berita kemudian langsung dihubungkan dengan kesesuaian dan ketidaksesuaian, maka realitas untuk kesesuaian ini tidaklah bermakna sama sekali.

Pada dasarnya, pengetahuan dan pemberitaan merupakan cermin terhadap realitas, dan apabila dalam teks berita dan ilmu kebenaran dan kekeliruan diposisikan sebagai berita itu sendiri, maka pemberitaan suatu berita dan pengetahuan itu menjadi batal, dan sesuatu yang sebagai cermin telah menjadi pencerminan dan ketiadaan percerminan sekaligus. Dengan demikian, ketika suatu pemberitaan dan pencerminan itu telah menjadi batal, maka ia pun mustahil menjadi suatu cermin yang bisa menampakkan kebenaran dan kesalahan secara serentak.

Pengetahuan hakiki adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, bukan berita yang sesuai dengan realitas. Dan apabila dalam berita bisa hadir kontradiksi, maka dalam pengetahuan yang merupakan suatu hakikat adalah mustahil terjadi kontradiksi, yakni mustahil keyakinan kepada kebohongan mutlak berhubungan dengan keyakinan kita sendiri[41]. Secara mendasar, supaya kita tidak mendapatkan kesulitan dalam pembahasan epistemologi dan mengubah definisi tentang pengetahuan hakiki, maka pernyataan bahwa “setiap berita ialah bohong” sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam pengetahuan hakiki. Yang menjadi persoalan adalah adanya kontradiksi dalam kalimat berita itu yang lahir dari tidak adanya kedisiplinan menjaga syarat-syarat yang mesti terwujud.

Dalam pengkajian tentang kesesuaian dan ketidaksesuaian harus dibedakan antara objek (ekstensi, referensi) dan yang diketahui secara esensial. Misalnya dalam proposisi: jumlah sudut setiap segitiga adalah seratus delapan puluh derajat, kebenaran proposisi ini tak bergantung pada kemestian keberadaan objeknya, akan tetapi, cukup dengan keberadaan “yang diketahui secara esensial” dimana sebagai media penghubung yang mesti antara kesegitigaan dan jumlah sudut 180 derajat yang dihadirkan dalam bentuk proposisi bersyarat: apabila suatu segitiga terwujud di alam eksternal, maka jumlah seluruh sudutnya mestilah 180 derajat.

3. Pengetahuan dan Perkara-perkara Eksternal

Tentang esensi dan hakikat pengetahuan dapat dibahas dari aspek-aspek lain. Apakah makrifat dan pengetahuan itu merupakan perkara-perkara eksternal dan hakiki, yakni mencerminkan apa-apa yang ada di alam eksternal ataukah hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat pikiran belaka dan kita itu diperkenalkan dengan apa-apa yang terdapat dalam pikiran seseorang?

Di sini sangat perlu diperhatikan bahwa ilmu dan pengetahuan mempunyai dimensi-dimensi hukum dan pembenaran yang lantas dihadirkan dalam bentuk proposisi-proposisi. Permasalahannya adalah apakah proposisi ini menjelaskan dan menceritakan apa-apa yang terjadi di alam hakiki dan eksternal? Apabila demikian halnya, maka pengetahuan itu bersifat objektif. Ketika kita menyatakan: Hasan pergi ke sekeolah, proposisi ini mengungkapkan realitas yang terjadi di luar diri kita. Sebagian filosof beranggapan bahwa ilmu dan pengetahuan manusia dalam bidang-bidang yang beragam merupakan perkara-perkara yang objektif. Banyak pemikir dari aliran Realisme yang mendukung pandangan seperti itu.

Sementara sebagian yang lain memandang pengetahuan itu sebagai perkara-perkara pikiran. Menurut mereka ini, apa-apa yang diungkapkan dalam suatu bentuk proposisi tidak lain ialah perasaan dan emosi internal seseorang serta realitas-realitas yang terdapat dalam pikirannya. Ketika dikatakan: peristiwa tersebut terjadi di zaman tertentu, proposisi ini hanyalah menampakkan persepsi dan pemahaman seseorang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas-realitas yang terjadi di alam eksternal. Pada posisi ini, pengetahuan dan makrifat itu dikategorikan sebagai perkara-perkara pikiran semata atau subjektif. Sekelompok dari filosof aliran Idealisme yang beranggapan bahwa realitas itu tidak lain adalah perkara-perkara pikiran, maka mereka pun menggolongkan bahwa pengetahuan dan makrifat itu adalah bersifat subjektif belaka.

Gagasan ketiga yang dimotori Immanuel Kant memasukkan kedua dimensi tersebut (objektif dan subjektif) ke dalam makrifat dan pengetahuan. Menurut kelompok ini, pengetahuan itu memiliki aspek objektivitas dan subjektivitas. Apa-apa yang dijelaskan dalam suatu proposisi merupakan gabungan dari kedua dimensi tersebut. Dari satu sisi, sesuatu yang benar-benar terjadi di alam eksternal yang dengan perantaraan indra-indra lahiriah masuk ke alam akal dan pikiran kita. Akan tetapi, apa apa yang hadir di alam pikiran kita melalui panca indra adalah sesuatu yang masih kabur, tidak jelas, tidak berhubungan satu dengan lainnya, dan tanpa makna. Kemudian pikiran dengan aktivitas khasnya menghubungkan segala sesuatu yang terindra itu dengan pengalaman-pengalaman yang lalu, konsepsi-konsepsi yang berkaitan dengan tempat dan waktu, dan kategori-kategori rasional, serta kemudian memperkenalkannya dalam bentuk yang khusus, partikular, bermakna, dan berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, lewat proses itulah kemudian ia dihadirkan dalam bentuk suatu pengetahuan dan makrifat. Dapat disimpulkan bahwa objek-objek eksternal itu tidak secara langsung dan mandiri membentuk pengetahuan kita. Melainkan mestilah menggunakan pengalaman-pengalaman lalu untuk menetapkan konsepsi-konsepsi sesuatu itu dan kemudian konsepsi-konsepsi itu dihadirkan dalam bentuk kata-kata lalu menegaskan hubungannya dengan realitas-realitas yang lain setelah itu kita menghukuminya.

Perspektif keempat adalah tidak memisahkan antara dimensi objektivitas dan subjektivitas. Berdasarkan perspektif ini, kedua dimensi tersebut tidak berpisah satu dengan lainnya dan tanpa menghubungkan antara kedua dimensi itu mustahil terwujudnya pengetahuan terhadap sesuatu. Subjektivitas kita akan muncul dan tergerekkan dengan memandang objek-objek eksternal dan objek-objek ini memiliki pengaruh pada konsepsi-konsepsi pikiran. Jadi kesimpulannya ialah bahwa pikiran dan objek eksternal merupakan dua unsur yang mustahil terpisahkan dalam mengkonstruksi suatu makrifat dan pengetahuan. Kelihatannya John Dewey mendukung gagasan dan perspektif yang keempat ini.[42]

4. Pembagian pengetahuan            

Pada umumnya pengetahuan dan makrifat dibagi menjadi: 1. Pengetahuan langsung (immediate); 2. Pengetahuan tak langsung (mediated); 3. Pengetahuan indrawi (perceptual); 4. Pengetahuan konseptual (conceptual); 5. Pengetahuan partikular (particular); dan 6. Pengetahuan universal (universal).

Pengetahuan immediate adalah pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku pada realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian adanya.

Pengetahuan mediated adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.

Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan  satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial (seperti adad istiadad). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.

Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas pikiran.

Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu, atau realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.

Pengetahuan universal mencakup individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita membincangkan tentang manusia dimana meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan, husain,  dan …), ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan fisika, kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan yang lainnya).

Dalam filsafat Islam, pengetahuan itu hanya dibagi dua, yakni ilmu hudhuri dan hushuli. Dengan berdasarkan pada pembagian pengetahuan di atas, apabila kita ingin menyingkronkan pembagian pengetahuan menurut filsafat Islam, maka pengetahuan langsung   (immediate) tersebut sama halnya dengan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan tak langsung (mediated), pengetahuan indrawi, pengetahuan konseptual, pengetahuan partikular, pengetahuan universal tersebut dikategorikan sebagai pengetahuan hushuli. [www.wisdoms4all.com]

               


[1] . John Dewey, Philosophy of Education, hal. 14.

[2] . Mulla Sadra, Hikmah Muta’âliyah, jilid ketiga, hal 279. Dan Mafatihul Ghaib, hal, 99 dan 100.

[3] . Materialism Dialektik, hal. 317.

[4] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 236, 237 dan Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid ketiga, hal. 32.

[5] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.

[6] . Mulla Hadi Zabzawari, Syarh-e Manzumah, hal. 39, bagian metafisika khusus.

[7] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 268 dan 239.

[8] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.

[9] . Sadrul Muta’allihin, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 319.

[10] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bagian ketujuh. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 312-319. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 214.

[11] . Mir Sayyid Syarif Jurjany, Kitab al-Mantiq al-Kubra, hal. 170.

[12] . Nahjul Balaghah, khutbah 107.

[13] . Qs. Fathir: 8

[14] . Qs. Kahf: 104

[15] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 239-240.

[16] .  Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 287-291 dan jilid ketiga, hal. 284-296.

[17] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar Manzumah, jilid pertama, hal. 53 dan 54.

[18] . Kategori hubungan adalah mesti terdapat dua sesuatu yang mandiri yang dihubungkan satu sama lain, sementara kategori emanasi adalah hanya terdapat satu realitas (seperti hubungan antara wujud dan manifestasi wujud).

[19] .Syaikh Kosyony,  Misbahul Hidayah wa Miftahul kifayah, hal. 56. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 291 dan jilid keenam, hal. 249.

[20] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 290 dan jilid ketiga, hal. 295, 297, 351.

[21] . Taqi Mishbah Yazdi, Omûzesy Falsafeh, jilid pertama, hal. 137.

[22] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Ibnu Arabi, Fushûshul Hikam, hal. 56 dan 57. Ibnu Sina, an-Najah,hal 374. Bahmanyar, at-Tahshil, hal. 291 dan 292.

[23] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Dan Ihshâul ‘Ulum, hal. 79-80.

[24] . Ibid, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52.

[25] . Alfarabi, Mantiqiyât, jilid pertama, hal. 35.

[26] . Allamah Thabathabai, Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid kedua, hal. 158-159.

[27] .  Kasyful Murâd, hal. 45-46.

[28] . Ibid, hal. 46.

[29] . Uyûn Masâil al-nafs, hal. 495-496.

[30] . Muhaqqiq Lahiji, Syawâriq al-Ilhâm, hal. 122.

[31] . Muhaqqiq Qusyaji, Syarh Tajrid al-‘Itiqad, hal. 56. Mulla Hadi Sabzawari, Syarh Manzumah, jilid satu, hal. 214-215.

[32] . Mir Damad, Qabasât, hal. 38-39.

[33] . Mulla Sadra, Hikmah al-Muta’aliyah, jilid keenam, hal. 270.

[34] . Ibn Turkah, Tamhid al-qawâ’id, hal. 30 dan 146.

[35] . Hakim Mudarris Zanuzy, Badâyi’ al-Hikam, hal. 146.

[36] . Muhammad Husain Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 15.

[37] . Ta’liqat Hikmah Muta’aliyah, jilid keenam, hal. 261, 261. Jilid ketujuh, hal. 27.

[38] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar, jilid pertama, hal. 191, 193, 194, 195. Syarh-e Mabsûth, jilid kedua, hal. 413. Dan Taqi Mishbah, hal. Ta’liqah ‘ala Nihâyah al-Hikmah, hal. 36, 37.

[39] . Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy-e Falsafah, jilid pertama, hal. 224.

[40] . Muhammad Husain Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 15 dan 16.

[41] . Kemustahilannya adalah karena keyakinan itu sendiri bermakna: penghukuman yang pasti dan tidak mungkin berubah tentang hubungan sesuatu dengan sesuatu. Dengan demikian, kalau kita yakin terhadap suatu pernyataan bahwa “segala berita adalah bohong” (kebohongan mutlak) maka keyakinan kita akan mengalami suatu kontradiksi, yakni pada satu sisi kita yakin kepada pernyataan bahwa “segala berita adalah bohong”, sementara pada sisi yang lain pernyataan itu sendiri adalah suatu berita. Dan karena semua berita adalah bohong (termasuk pernyataan itu sendiri), maka pernyataan tersebut harus  diingkari karena termasuk suatu kebohongan. Dengan demikian, kebohongan mutlak ialah tidak benar dan keyakinan padanya akan berujung pada kontradiksi. Oleh karena itu, kebohongan mutlak sama sekali tidak tergolong ke dalam makrifat dan pengetahuan hakiki.

[42] . Ali Syariatmadary, Falsafeh, hal. 368.

8 comments on “Substansi dan Definisi Pengetahuan

  1. saya tidak memuji bukan krn makalah ini tidak layak dpuji, tetapi krn saya tak cukup ilmu untuk bisa memujinya.
    (Terima kasih bnyk dah diposting tulisannya)
    Mudah2an (insya Allah) bermanfaat bagi semua.

  2. berharga bangat tulisan anda trimakasih buat tulisan_a
    q ada saran inie khan google_a pengertian substansi tapi kok dibuat dalam google substansi siii?????????????????
    tapi bgus lhoooo pengertian_a thank 🙂

Tinggalkan komentar