Cakrawala Iman

     

         1. Urgensi Mengenal Tuhan

          Urgensi dan pentingnya mengenal Tuhan dan pengaruhnya yang sangat mendalam dalam semua aspek kehidupan manusia merupakan hal yang tak-bisa dipungkiri. Bukti-bukti sejarah menampakkan bahwa pengenalan Tuhan senantiasa merupakan tema penting dan mendasar dalam peradaban manusia dan juga merupakan bagian penting dari semua agama adalah menjelaskan tentang Tuhan itu sendiri dan menerangkan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam. Kehadirannya yang sangat luas dan berpengaruh dari pemikiran tentang Tuhan dalam sejarah pemikiran manusia juga merupakan saksi bagi kita atas pentingnya kehidupan yang diwarnai dan dilandasi oleh pengetahuan tentang Tuhan.

        Pentingnya mengetahui dan mengenal Tuhan itu dapat juga dilihat dari sisi pengaruhnya dalam kehidupan individu dan masyarakat. Tidak ada keraguan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok dan mendasar antara gaya hidup manusia monoteistik dan manusia ateistik. Begitu juga terdapat perbedaan jika kita bandingkan kehidupan dua orang monoteistik yang memiliki gambaran dan pengetahuan yang bergradasi tentang sifat dan zat Tuhan, dan semuanya ini akan nampak pengaruhnya secara jelas dalam pemikiran, motivasi, niat, penilaian dan perilaku-perilakunya. Kesimpulannya adalah orang yang hidup dalam pengaruh monoteisme akan mendapatkan inspirasi baru dan pencerahan spiritual dalam membentuk kepribadiaannya dan mengantarkannya pada jenjang kesempurnaan hidup yang tinggi.    

1.1. Kemestian Mengenal Tuhan

        Sebelum kami paparkan secara mendalam  masalah-masalah tentang ketuhanan, penting diketahui bahwa pengetahuan dan keyakinan manusia tentang Tuhan sebenarnya bersifat fitrah artinya dia menyatu dengan hakikat eksistensi manusia itu sendiri, ilmu tentang Tuhan tidak mungkin dapat dipisahkan dari esensi manusia. Realitas ini, pengenalan yang bersifat fitrah, merupakan pengenalan awal dan dan sangat universal, karena itu tidak secara otomatis bisa menjamin kesempurnaan pengetahuan tentang Tuhan, tapi lebih merupakan pengkondisisan yang baik dalam menggali dan menyempurnakan pengenanalan manusia tentang Tuhannya sendiri. Berdasarkan hal inilah, seorang manusia yang tidak melupakan Tuhan  dalam kerangka pengetahuan fitrahnya akan memandang dirinya merasa perlu untuk lebih memahami realitas Tuhan, perasaan inilah yang merupakan faktor yang paling penting dalam memotivasi manusia dalam menuntut pengetahuan yang lebih sempurna tentang sifat dan zat Tuhan.

        Alasan inilah yang mendorong para ahli kalam dan teolog Islam menjabarkan alasan-alasan logis guna mendorong manusia akan pentingnya mengenal Tuhan. Dua argumen akan disebutkan di bawah ini tentang wajib dan urgennya bertafakkur tentang realitas Tuhan:  

1.    Antisipasi adanya kemungkinan siksaan: Kesimpulan dari argumen ini adalah bahwa setiap manusia paling tidak memiliki informasi tentang diutusnya para Nabi dan Rasul,  ajakan mereka kepada penyembahan Tuhan serta melaksanakan kewajiban-kewajiban ilahi dan juga keyakinan  mereka akan adanya kehidupan setelah mati, kalau manusia tidak beriman kepada perkataan-perkataan mereka, paling minimal memberikan kemungkinan akan kebenaran mereka. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan ini akan muncul dalam pikirannya bahwa para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang jujur dan benar dalam ajakan dan dakwahnya, pada akhirnya adanya kemungkinan hadirnya siksaan  untuk manusia dan kerugian yang besar disebabkan tidak mengamalkan kewajiban-kewajiban yang disampaikan oleh para nabi dan rasul. Pada sisi yang lain, akal menghukumi  bahwa manusia sebisa mungkin menjauhi siksaan dan kerugian, walaupun ini hanya bersifat kemungkinan.

Oleh karena itu, berdasarkan adanya kemungkinan siksaan karena tidak taat dan sisi lain akal menghukumi perlu adanya antisipasi segala kemungkinan kerugian dan siksaan, dihukumi bahwa manusia harus berupaya mengkaji dan meneliti eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya sehingga ketika secara esensial Tuhan ada dan ajakan para Nabi benar maka dia berusaha mengikuti mereka dan terjauhkan dari segala bentuk siksaan.

2.    Kewajiban mensyukuri pemberi nikmat. Tak diragukan bahwa manusia dalam kehidupannya mendapatkan banyak nikmat dan diapun mengetahui bahwa nikmat-nikmat ini bukan berasal darinya, tapi berasal dari realitas yang lain. Pada sisi lain, akal manusia menghukumi kebaikan bersyukur kepada sang pemberi nikmat, karena itu wajib bagi manusia untuk bersyukur kepada pemberi nikmat, tapi pemberian ucapan syukur ini bergantung kepada pengenalan kepadanya. Maka dari itu, akal menyeru manusia untuk mengenal lebih jauh pemberi nikmat hakiki yaitu Tuhan.

        Kesimpulannya, dengan memperhatikan betapa pentingnya peranan pengenalan kepada Tuhan dalam kehidupan manusia dan juga dengan memandang penegasan akal tentang antisipasi kemungkinan hadirnya kerugian dan siksaan serta kewajiban mensyukuri nikmat, maka diputuskan urgennya kajian yang mendalam tentang eksistensi Tuhan yang merupakan tindakan yang terpuji dan wajib.

1. 2. Tingkatan Pengenalan Tuhan

          Salah satu pendahuluan yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan adalah pengenalan atas pengertian-pengertian yang berkaitan dengan konsep ketuhanan dan perhatian pada sistimatika pengkajian yang bersifat komprehensif dan universal, yang inti pembahasan antara lain:

1. Pengenalan hakikat wujud Tuhan. Terkadang yang dimaksud dengan pengenalan Tuhan adalah pengenalan hakikat wujud Tuhan. Apakah dimungkinkan pengenalan hakikat wujud Tuhan? Kaum teolog dan filsuf memiliki perspektif yang sama tentang  kemustahilan mengenal hakikat wujud Tuhan, hal ini didasarkan pada argumentasi akal dan penegasan teks-teks suci. Jadi bukan hanya manusia tapi seluruh makhluk mustahil memahami hakikat wujud Tuhan.

Konklusi dari argumentasi akal atas kenyataan ini adalah bahwa wujud Tuhan mutlak dan tak terbatas dan seluruh makhluk selain-Nya memiliki keterbatasan. Pada sisi lain, ilmu, pengetahuan dan segala bentuk persepsi akal merupakan satu bentuk pencakupan dan peliputan subyek atas obyek cerapan. Adalah mustahil wujud subyek yang terbatas bias meliputi obyek cerapan yang tak terbatas, berarti bahwa sangat mustahil makhluk bisa mencerap dan meliputi wujud Tuhan, oleh karena itu, kita tak mungkin mengkaji dan membahas hakikat wujud Tuhan dan pengenalan atas hakikat-Nya mustahil tercapai.

2. Pengenalan eksistensi Tuhan. Bentuk lain dari pengenalan Tuhan adalah penegasan dan pembuktian eksistensi Tuhan. Berdasarkan bentuk pengenalan ini, seorang manusia akan terpisah dari kelompok manusia lain yang mengingkari dan menolak eksistensi Tuhan (ateis) atau kelompok yang ragu akan keberadaan-Nya dan bergabung dengan komunitas ilahi yang meyakini eksistensi Tuhan dan piawai dalam penegasan dan pembuktian rasional tentang keberadaan-Nya. Bentuk pengenalan ini bukan hanya dimungkinkan oleh akal bahkan merupakan pondasi dan asas bagi bentuk-bentuk pengenalan Tuhan yang lain.

Yang perlu ditekankan disini adalah tidak semua pengenalan Tuhan itu memiliki bentuk dan warna yang sama, dalam hal ini banyak sekali aliran-aliran yang muncul dan masing-masing mendapatkan pendukung dan penganutnya, semua aliran ini membahas tentang eksistensi Tuhan tapi memiliki metodologi dan alur-alur argumentasi yang berbeda. Karena itu, kita sulit memberikan satu defenisi yang universal atas obyek kajiannya. Dengan pendekatan yang bersifat toleran bisa dikatakan bahwa manusia dalam bentuk pengenalan ini mencapai satu kesepakatan tentang ketunggalan dan keesaan wujud Tuhan serta kesempurnaan-Nya yang tak terbatas.

3. Pengenalan sifat dan perbuatan Tuhan. Tingkatan lain dari pengenalan Tuhan adalah mengenal sifat, nama dan perbuatan Tuhan. Setelah manusia membuktikan dan menegaskan eksistensi Tuhan dan meyakini proposisi bahwa Tuhan itu ada, maka langkah berikutnya adalah mengkaji dan mendalami secara terperinci tentang sifat-sifat dan segala perbuatan Tuhan. Jika pada tingkatan sebelumnya menyebabkan keterpisahan kita dengan kelompok ateis, maka pada tingkatan ini juga melahirkan adanya perbedaan yang cukup tajam dan dan prinsipil diantara para penganut ketuhanan (teisme). Dengan ungkapan lain, perbedaan perspektif dalam pencerapan atas sifat dan perbuatan Tuhan di antara penganut ketuhanan, baik di antara penganut agama yang berbeda maupun diantara penganut mazhab dan aliran dalam satu agama, muncul dalam tingkatan ini. Sebagai contoh, perbedaan mendasar konsep ketuhanan antara Islam dan kristen misalnya, dalam masalah trinitas dan kematerian wujud Tuhan dimana kaum Kristen beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sifat Tuhan, tetapi kaum muslimin menolaknya. Di tempat lain, salah satu aliran dari agama Islam memiliki pandangan yang sama dengan kaum Kristen tentang kematerian wujud Tuhan, sementara mayoritas umat Islam menolak pandangan tersebut dan berkeyakinan bahwa Tuhan suci dari sifat kematerian. Kesimpulannya, terjadinya banyak perbedaan di antara penganut Theisme lebih disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas sifat-sifat Tuhan.

       

Dengan memperhatikan apa yang telah dikatakan, kami dalam buku ini, akan mengkaji tentang pengenalan Tuhan dan akan memulai pembahasan dari penegasan wujud Tuhan kemudian pengkajian sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Agar pembahasan tidak saling tumpang tindih maka pembahasan awal tentang wujud Tuhan kita beri nama   pembuktian wujud Tuhan dan pembahasan kedua tentang sifat dan perbuatan Tuhan diberi judul pengenalan Tuhan.

1. 3. Metode-Metode Penegasan Wujud Tuhan

        Kalau kita menelusuri karakteristik-karakteristik khusus yang dijalani manusia dalam mengenal Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia memilki jalan tersendiri dalam mengenal dan meyakini-Nya. Berdasarkan sudut pandang ini, jalan-jalan mengenal Tuhan itu tak terbatas, karena inilah lahir ungkapan yang berbunyi, “Jalan-jalan menuju kepada-Nya sebanyak jiwa-jiwa yang ada.”

        Jika kita menarik sisi-sisi universal dari semua jalan tersebut, maka kita bisa memetakan dan membaginya secara umum. Para filsuf dan teolog masing-masing mengusulkan pemetaan dan pengelompokan yang berbeda dimana masing-masingnya bersandar pada tolok ukur yang khusus. Sebagai contoh, pembagian jalan pembuktian Tuhan terbagi dalam dua bagian:

 

1. Jalan Argumentatif (Teoritis)

Jalan ini bertujuan menggunakan pendahuluan-pendahuluan yang rasional untuk menegaskan eksisitensi dan sifat-sifat Tuhan.

 

2. Jalan Pensucian Hati (Praktis)

Di jalan ini, manusia dapat “melihat” Tuhannya sendiri   dengan mata hati dan mengenal sifat-sifat jamal dan jalal-Nya dengan cara mensucikan dan menghias batinnya dengan akhlak-akhlak yang terpuji.

        Pada pembagian yang lain, terdapat tiga metode yang mendasar dalam mengenal Tuhan, yaitu:

1. Metode Rasionalitas

Manusia menetapkan wujud, sifat-sifat khusus dan perbuatan Tuhan dengan cara memanfaatkan pokok-pokok dan dasar-dasar rasionalitas dan argumentasi filsafat.

 

2. Metode Empiris

Dengan melakukan pengamatan terhadap alam dan penelitian terhadap hubungan-hubungan diantara fenomena-fenomena yang terjadi di alam manusia sampai pada kesimpulan tentang kemestian wujud dan sifat-sifat Tuhan seperti, ilmu, kehidupan, kebijaksanaan, kekuasaan dan kehendak.

 

 3. Metode Pencerahan Batin

        Terkadang manusia menemukan Tuhannya hanya dengan merujuk ke dasar batinnya dan tanpa menggunakan argumentasi filsafat dan metode empiris. Inilah yang disebut sebagai fitrah manusia, dan terkadang sair suluk irfani dan metode pensucian hati juga digolongkan sebagai jalan fitrah manusia dalam menyingkap hakikat wujud dan sifat-sifat jamâl (fascinant) dan jalâl (tremendum) Tuhan.

1. 4. Jalan Umum dan Khusus

        Jalan-jalan untuk menegaskan wujud Tuhan, pada sisi lain, dapat dibagi ke dalam metode umum dan khusus. Yang dimaksud dengan metode umum adalah menggunakan premis-premis dalam pembuktian wujud Tuhan yang bisa dicerap dan dipahami oleh semua kalangan dan tingkatan manusia tanpa mengenal latar belakang keilmuan dan budaya. Sementara cara khusus adalah meletakkan premis-premis dalam penegasan eksistensi Tuhan dimana hanya bisa dimengerti oleh kalangan khusus. Sebagian argumen-argumen rumit filsafat digolongkan ke dalam cara khusus tersebut, sedangkan burhan-burhan lain yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan manusia seperti argumen keteraturan alam dan dalil fitrah dikategorikan ke dalam metode umum.

        Pada kesempatan ini, kita akan memulai pembahasan dalam penetapan dan penegasan wujud Tuhan dengan dalil fitrah kemudian dengan metode argumen keteraturan alam dan di akhir dengan memperkenalkan dalil-dalil rasional atau argumentasi filsafat.[]

 

2. ARGUMEN FITRAH

Abstraksi

Telah kami singgung sebelumnya bahwa salah satu metode mengenal Tuhan adalah pengenalan melalui hati dan kalbu. Tahapan general serta langkah pertama dari metode ini termanifestasi dalam pencarian dan pengenalan secara fitri akan eksistensi Tuhan yang biasa disebut juga dengan jalan fitrah, dan kelanjutan dari tahapan ini adalah seir-suluk (pelancongan) irfani yang biasanya hanya terfokus pada kelompok para arif yaitu mereka yang menyaksikan sifat Jalâl dan Jamâl Tuhan dengan mata hati melalui ibadah dan tazkiyatun nafs.

Dalam pembahasan kali ini kami bermaksud menyajikan uraian singkat jalan tersebut, akan tetapi sebelumnya kami akan mengetengahkan beberapa poin penting berikut:

2. 1. Definisi Fitrah

Fitrah berasal dari kata dasar fatr yang berarti menyingkap sesuatu dari sisi panjangnya, selanjutnya kata ini dipergunakan dalam kaitannya dengan segala kegiatan menyingkap atau membuka. Dengan memperhatikan bahwa arti penciptaan adalah menyingkap tirai dari ketiadaan menuju keberadaan, maka salah satu dari makna fatr adalah mencipta dan membuat. Atas dasar inilah, fitrah (yang merupakan kata dasar ber-wazn fi’lah dan menunjukkan pada jenis dan kualitas kerja) mempunyai arti:  metode khusus penciptaan.

        Dengan memperhatikan makna di atas, ketika pembahasan berkisar pada persoalan fitrah, maka yang dimaksud di sini adalah karakter dan penciptaan Nya yang khas, yang mempunyai kelaziman dan keadaan khas pula. Pada dasarnya, para periset Islam mempergunakan istilah fitrah (dengan makna di atas) dengan mendapatkan ilham dari al-Quranul Karim, yang berfirman:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. ar-Rum [21]: 30).

        Ringkasnya, dalam pandangan Islam, Tuhan meletakkan kecenderungan dan visi Nya yang khas bersama penciptaan manusia dan membaurkannya dengan wujud Nya. Kecenderungan dan visi ini merupakan hal-hal fitri yang mempunyai cakupan teramat luas, akan tetapi pada pembahasan kali ini kami hanya mengkhususkan pada salah satu visi fitrah tersebut yaitu pembenaran eksistensi dan wujud Tuhan, yang disebut Pencarian Tuhan.[1]

2. 2. Penegasan Pencarian Tuhan secara Fitrah

        Setelah mengetahui makna fitrah, kami akan sedikit berbicara tentang makna pencarian Tuhan. Dan pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan masalah ini adalah apa yang dimaksud dengan keyakinan yang fitri terhadap eksistensi Tuhan? Tentu saja, terdapat begitu banyak pendapat yang muncul untuk jawaban  pertanyaan tersebut, dan yang terpenting di antaranya adalah:

  1. Proposisi “Tuhan ada” merupakan sebuah proposisi yang a- self evident (gamblang, badihi, tak perlu penjelasan) dalam tingkatan yang paling awal.

Menurut pendapat ini, maksud dari kefitrian pengetahuan terhadap eksistensi Tuhan adalah bahwa proposisi “Tuhan ada” merupakan sebuah kegamblangan yang paling mendasar (aksioma awal, principles premiers).

Kita ketahui, dalam ilmu logika proposisi badihi terbagi dalam beberapa kelompok, yang salah satunya adalah badihi awal ini. Badihi awal adalah pembenaran terhadap sebuah proposisi tanpa memperhatikan subyek, predikat serta keterkaitan antara keduanya, sebuah pembenaran yang tidak membutuhkan konsepsi (gambaran) maupun assensi (persetujuan). Proposisi semacam “Universal lebih besar dari partikular”, “Bersatunya dua hal kontradiktif adalah mustahil” merupakan proposisi-proposisi dari badihi awal. Berdasarkan interpretasi ini, maka jelas, kefitrian pencarian Tuhan dalam proposisi “Tuhan ada” merupakan badihi awal dan merupakan kegamblangan pada tingkatan paling dasar.[2]

  1. Proposisi “Tuhan ada” merupakan proposisi yang fitri dan logis.

Satu lagi bagian dari badihi awal adalah “Proposisi Fitrah”, yang dalam istilah para logikawan dikatakan sebagai sebuah proposisi yang pembenarannya bergantung pada kebenaran argumen, dimana dengan hanya memberikan perhatian terhadapnya, argumen akan hadir pula dalam benak kita. Sebagian dari proposisi dalam ilmu Matematika seperti “Dua adalah setengah dari empat” merupakan contoh dari proposisi ini.

Berdasarkan pendapat kedua ini, maksud dari  keyakinan yang fitri terhadap eksistensi Tuhan adalah bahwa  hanya dengan memberikan perhatian terhadap proposisi “Tuhan ada”, argumennya akan seketika hadir pula di dalam benak kita dan serta merta mendapatkan pembenaran. Argumen ini bisa muncul dalam bentuk prinsip “Kebutuhan kontingen-kontingen (mumkinât) terhadap wâjib al wujud” atau hal-hal semacamnya.

Wal hasil, yang dimaksud dengan kefitrian pencarian Tuhan dalam intepretasi kedua ini adalah bahwa wujud dan eksistensi Tuhan mempunyai argumen yang sangat jelas dimana hanya dengan memberikan sedikit perhatian saja, hal tersebut telah bisa hadir di dalam benak kita dan berdasarkan hal tersebut manusia telah mampu memahami keberadaan Nya.

  1. Sebelum kehadiran manusia ke dunia, Tuhan telah memperkenalkan diri Nya kepada manusia.

Berdasarkan intepretasi ketiga dikatakan, sebelum memasuki alam natural, manusia menempati sebuah alam lain dimana di alam tersebut Tuhan telah memperkenalkan dirinya di hadapan manusia dengan segala sifat Jalâl dan Jamâl-Nya dan pada dimensi-dimensi ruhani dan maknawi selanjutnya seluruh manusia membenarkan wujud dan eksistensi Nya sebagai Penguasa dan Pencipta alam. Tentu saja setelah manusia menginjakkan kakinya ke dunia natural, mereka lupa terhadap hal-hal kecil dan partikular dari berbagai dimensi maknawi dan ruhani tersebut, akan tetapi pondasi makrifat dan pengetahuan akan eksistensi Tuhan tetap tersimpan dengan baik.

Para pendukung intepretasi ini mencoba mendekatkan kefitrahan pencarian Tuhan dengan beberapa ayat dan riwayat, yang salah satu di antaranya adalah ayat yang terkenal dengan sebutan ayat “mitsâq

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”, (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)” (QS. Al-A’raaf [8]: 172)[3]

  1. Seluruh manusia mengenal Tuhan dengan pengetahuan dan ilmu hudhuri-nya

Berdasarkan pendapat ini kefitrahan pencarian Tuhan bermakna pengetahuan hudhuri (presentif) manusia terhadap Tuhan sebagai Penciptanya. Untuk menjelaskan pendapat ini, kita perlu mengetahui perbedaan antara ilmu hudhuri (presentif) dan ilmu hushuli (acquired knowledge, pencapaian).

Berdasarkan sebuah klasifikasi umum, ilmu manusia terbagi dalam dua kelompok yaitu ilmu hudhuri dan ilmu hushuli. Ilmu hushuli adalah ilmu yang dihasilkan melalui metode pemahaman dan gambaran dalam benak, dengan arti bahwa dengan menghasilkan gambaran sesuatu di dalam benak, kita akan mampu memahami sesuatu tersebut, akan tetapi dalam ilmu hudhuri, gambaran atau mafhum benak sama sekali tidak memiliki peran di dalamnya, melainkan sesuatu yang telah maklum dan jelas-lah yang secara sendirinya hadir pada sang alim. Perbedaan lainnya adalah dalam ilmu hushuli terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan akan tetapi dalam ilmu hudhuri, dikarenakan yang hadir pada sang alim adalah maklum dan kejelasan itu sendiri (bukannya gambaran benak) maka sama sekali tidak akan terjadi kesalahan padanya.  

Dengan memperhatikan penjelasan di atas, bisa dikatakan, tafsiran akhir dari kefitrahan pencarian Tuhan adalah bahwa manusia dalam kedalaman jiwanya mempunyai pengetahuan hudhuri terhadap keberadaan Tuhan, sebuah pengetahuan yang tidak dihasilkan melalui pemahaman dan argumentasi akal melainkan parameternya adalah kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan.[4] Berdasarkan makrifat dan pengetahuan ini manusia yang cerdas akan menemukan Tuhan di dalam dirinya dan dia bisa menyaksikan-Nya dengan mata hatinya. Di sini tidak ada lagi pembicaraan tentang gambaran mafhum Tuhan ataupun pembenaran proposisi “Tuhan ada” –yang kesemuanya muncul dari pengetahuan hushuli (acquired knowledge) – melainkan  yang terjadi adalah penyaksian dan perolehan.

 Berbagai tafsiran dan intepretasi tentang kefitrahan pencarian Tuhan pada pembahasan di atas, dengan segala perbedaannya yang ada[5] mempunyai kesamaan dalam satu hal berikut yaitu manusia mengetahui bahwa makrifat dan pengetahuannya terhadap wujud, keberadaan dan eksistensi Tuhan tidak butuh pada argumen-argumen akal yang rumit, dari dalam diri manusia sendiri terdapat jalan untuk mengenal keberadaan-Nya dan bisa jadi dari sinilah sehingga al-Quran al-Karim mengatakan bahwa prinsip keberadaan Tuhan merupakan sebuah persoalan yang begitu gamblang dan pembelajaran untuk mengenal-Nya biasanya difokuskan berdasarkan pada tolak ukur sifat-sifat dan aktivitas Ilahi.

Pada akhir pembahasan, ada baiknya apabila sekali lagi kami mengetengahkan point-point berikut:

1.       Kefitrahan keyakinan terhadap wujud dan keberadaan Tuhan dengan segala makna dan intepretasinya -sebagaimana pembahasan di atas- tidak mengartikan bahwa seluruh manusia mengakui keberadaan Nya dan tidak ada satupun yang meragukannya. Kita mengetahui bahwa tak jarang terdapat sekelompok orang yang mengingkari persoalan yang paling gamblang sekalipun atau meragukan kegamblangannya, (seperti kelompok para Sophis yang ragu dalam prinsip wujud riil), dari sinilah kemudian dikatakan: kebadihian dan kegamblangan sebuah proposisi tidak ada kaitannya dengan adanya sekelompok orang yang tidak menyepakatinya atau ragu dalam kebenarannya, oleh karena itu kefitrahan pencarian Tuhan pada penafsiran pertama dan kedua tidak terpengaruh dengan adanya keraguan sebagian orang terhadapnya.

Berdasarkan penafsiran ketiga dan keempat, meskipun manusia mempunyai makrifat dan pengetahuan hudhuri terhadap Tuhan, akan tetapi kedekatan manusia kepada alam natural telah membuat mereka kehilangan perhatiannya terhadap makrifat tersebut (sebagaimana orang sakit yang melupakan penyakitnya karena mendengar kabar gembira, sementara unsur-unsur sakit tersebut masih ada dalam dirinya). Dari sinilah, ketika manusia telah berada dalam kondisi yang kritis dan segala harapan terhadap unsur-unsur alami telah terpenggal darinya, dasar kalbunya akan terfokus pada sebuah kodrat tak terbatas dan secara tak sadar dia akan memanggil dan meminta bantuannya.

Kesimpulannya, keberadaan Shopistis tidak mampu mempengaruhi klaim kefitrahan pencarian Tuhan. 

2.       Sebagaimana yang telah kami katakan, keyakinan fitri terhadap wujud Tuhan ada kalanya akan menjadi tak terlihat karena adanya faktor kedekatan dan keakraban manusia pada alam natural, yang tentu saja hal ini menyebabkan redupnya pancaran cahaya fitrah tersebut. Dalam keadaan seperti ini manusia membutuhkan pembangkit dan pengingat untuk melepaskan mereka dari liputan kabut, menghentakkan dari kelengahan dan mengembalikan mereka pada kemurnian kalbu. Tentu saja faktor-faktor pembangkit ini sangat beragam, sebagiannya berdimensi makrifat dan sebagian lainnya (seperti kondisi kritis yang dialami seseorang) berdimensikan psikologis. Salah satu faktor makrifat yang berpengaruh untuk menyadarkan fitrah yang tertutup ini adalah dengan memaparkan argumen-argumen akal yang kuat akan wujud Tuhan. Dengan demikian, kefitrahan pencarian Tuhan tidak meniscayakan kesia-siaan argumen akal atas wujud Tuhan dan tidak pula menyepakati ketidakbenaran argumen semacam ini. Wal hasil, tidak seharusnya kita berpandangan negatif terhadap seorang pemikir yang dari satu sisi meyakini bahwa keyakinan akan wujud Tuhan adalah fitrah dan pada sisi lain dia juga menyajikan argumen-argumen kuat untuk membuktikan kebenaran eksistensi Tuhan.

2. 3. Pencarian Tuhan dalam al-Quran

Terdapat banyak ayat dan riwayat yang menguatkan pendapat akan adanya kefitrahan pencarian Tuhan, dan kami  mencukupkan diri dengan menyajikan beberapa darinya.

Pada sebagian ayat al-Quran dikatakan bahwa agama Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

        Surah ar-Rum ayat 30 mengatakan:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum: 30).

Meskipun secara lahir ayat ini mengurai tentang kefitrahan agama, akan tetapi bisa pula dipergunakan dalam kaitannya dengan kefitrahan keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, karena apabila maksud dari “agama” di sini adalah pembelajaran prinsip dan tingkatan keyakinan agama, maka keyakinan terhadap eksistensi Tuhan secara tegas merupakan bagian darinya dan apabila maksudnya adalah penyerahan diri di hadapan Allah Yang Mahasuci dan penyembahan Tuhan, maka bisa dipastikan kefitrahan penyembahan Tuhan meniscayakan pada kefitrahan pengetahuan terhadap wujud Nya.[6]

Ayat lain yang bisa dijadikan rujukan, khususnya dalam persoalan theology dan pengenalan Tuhan ini adalah ayat ke 172 dari surat al-A’raf, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, ayat ini terkenal dengan sebutan ayat “mitsâq

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”, (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)”

Kandungan dari ayat ini sangat berat dan mendalam, karena hal ini pulalah sehingga para mufassir saling berbeda pendapat dalam menafsirkannya dan bahkan sebagian kelompok menganggapnya sebagai ayat yang mutasyabiah (kurang jelas). Walaupun demikian, secara global, dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa Tuhan pada salah satu tahapan penciptaan-Nya, telah menghadirkan seluruh manusia yang ada di muka bumi sejak permulaan hingga hari kiamat dan meletakkan kesaksian pada diri mereka serta mengambil sumpah atas rububiyah-Nya dan tujuan dari sumpah tersebut adalah supaya kelak para musyrik dan kafir tidak mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang tidak mengetahui berita tersebut.

Kesimpulannya, mereka yang menganggap kefitrahan Tuhan dengan makna pertemuan-pertemuan manusia dengan Tuhan di alam pra-alam tabiat akan merujuk pada ayat ini dan menjadikannya sebagai bukti pendapatnya. Sebagian penafsir (mufassir) dan periset pun menyepakati bahwa ayat ini ingin menjelaskan realitas berikut dengan bahasa simbolik bahwa seluruh manusia memiliki semacam makrifat partikular (bukan universal) dan hudhuri (bukan hushuli) terhadap Tuhan dan karena makrifat semacam ini tidak mungkin salah, maka tidak ada dalih ataupun alasan untuk meragukannya.

Demikian pula terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang menjelaskan realitas bahwa ketika manusia berada dalam keadaan yang kritis dan kondisi yang benar-benar sulit dan dia melihat dirinya berada di ambang kematian dan harapannya terhadap segala unsur tabiat telah tak terjangkau lagi, makrifat fitri yang terpendam dalam kedalaman kalbunya serta merta akan terjaga dan dia akan memanggil Tuhan dengan keikhlasan penuh.

“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Al-Ankabut:65)[7]

Dari ayat tersebut dapat pula disimpulkan bahwa al-Quran membenarkan adanya makrifat fitri terhadap eksistensi Tuhan dalam diri manusia.[8]

2. 4. Pengenalan Tuhan dalam riwayat

Persoalan fitrah mendapatkan banyak perhatian dalam berbagai riwayat, tentu saja dalam riwayat-riwayat tersebut terdapat perbedaan dalam menjelaskan apa  sebenarnya fitrah itu. Pada sebagian hadits, fitrah diperkenalkan sebagai prinsip agama Islam dan pada sebagian lainnya diperkenalkan sebagai usul dan dasar asasi kepercayaan Islam sebagaimana tauhid dan wilayah, dan pada sepenggal riwayat, fitrah ditegaskan sebagai kefitrahan tauhid dan akhirnya di antara riwayat-riwayat fitrah yang ada kita menemukan hadist yang menjelaskan fitrah sebagai makrifat dan pengenalan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadist dikatakan, salah satu dari sahabat bertanya kepada Imam Baqir As tentang arti “hunafa (dengan ikhlas)” yang ada dalam surah al-Hajj ayat 31:

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Nya”.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut beliau bersabda:

Hunafa adalah fitrah yang Allah menciptakan manusia atasnya dan Dia tidak melakukan perubahan dalam penciptaan Nya (kemudian beliau melanjutkan) Allah menciptakan manusia dengan adanya makrifat kepada Nya”.

 

3. Argumen Keteraturan

Setelah kita mengevaluasi jalan fitrah sebagai sebuah jalan untuk mengenal Tuhan, pembahasan kali ini akan kami arahkan pada metode empirik (pengalaman). Sebagaimana yang telah kami katakan, maksud dari metode empirik di sini adalah manusia akan terbimbing untuk mengenali eksistensi Tuhannya melalui pembelajaran diri di alam. Perlu dikatakan, al-Quranul Karim memberikan perhatiannya secara khusus pada keistimewaan-keistimewaan dan kekhususan metode ini (yang akan kami uraikan selanjutnya) dan pada banyak ayatnya mengajak manusia untuk berfikir dan ber-tadabbur pada seluruh fenomena alam yang ada dan pada petunjuk-petunjuk takwini-Nya (penciptaan).

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa para filosof dan teolog Islam sebagaimana yang seharusnya, tidak memberikan penekanan pada metode umum ini dalam pengenalan Tuhan.

Pengenalan Tuhan yang mendasarkan pada pembelajaran  empirik atas fenomena-fenomena dan maujud-maujud eksistensi, biasanya berada dalam cakupan “argumen keteraturan” (burhan nazhm) ini. Sebelum kami memberikan penjelasan lebih luas tentang argumen ini, kami akan menguraikan beberapa point berikut:

1. Dengan mengulas kembali secara singkat pendapat para filosof dan teolog Muslimin pada sub-bab ini, dengan jelas dapat kita lihat adanya perbedaan pendapat yang sangat mendalam pada persoalan substansi, premis dan konklusi yang hal tersebut biasa disebut seabgai “argumen keteraturan”. Sekelompok dari mereka menganggapnya sebagai argumentasi akal yang dihasilkan dari premis empirik, dan kelompok lainnya hanya menganggapnya sebagai sebuah peringatan untuk membangunkan fitrah manusia yang tertidur dan mengingatkan adanya makrifat fitri manusia terhadap eksistensi Tuhannya. Dengan demikian, dilihat dari sisi premis-premisnya (dasar konsepsi dan assensi), argumen ini pun mempunyai visi dan pandangan yang beragam. Sebagai contohnya  tidak adanya kesepakatan dalam makna “nazhm” (keteraturan) dan juga tidak adanya kesamaan pendapat tentang bagaimana eksistensi fenomena-fenomena yang teratur ini bisa membimbing ke arah Tuhan. Dari sisi lain terdapat pula kelompok yang mempergunakan argumen ini untuk membuktikan kaidah eksistensi Tuhan, sedangkan kelompok lainnya hanya mempergunakannya untuk membuktikan sebagian sifat-sifat-Nya, seperti ilmu dan hikmat.[9]

2.  Sebagaimana yang telah kami katakan, baik kita menganggap   argumen keteraturan ini sebagai sebuah argumentasi rasional ataupun hanya sebagai dalil retorik atau dialektik, berdasarkan keistimewaan khas yang dimilikinya, argumen ini senantiasa mendapat sambutan yang istimewa secara umum. Dan sebagian dari keistimewaan argumen ini adalah:

  1. Adanya keterkaitan erat antara premis argumen ini dengan penyaksian empirik dan keagungannya yang kadang menarik perhatian pemikiran kita kemudian menggabungkannya secara lekat dengan mata hati manusia secara umum.

  2. Kosongnya argumen ini dari pemahaman-pemahaman rumit yang biasa dimiliki oleh kaidah-kaidah filosofi, pemahaman yang ada dalam argumen ini dipermudah untuk umum dan terhindar dari kerumitan yang biasa ada dalam dalil-dalil filosofis. 

  3. Kedekatan kandungan argumen ini dengan kandungan sebagian besar ayat-ayat al-Quran, pada satu sisi menyebabkan kedekatan khas bagi mereka yang beragama dan pada sisi lainnya merupakan penegas atas keharmonisan antara akal dan ruh.

  4. Inovasi baru dari ilmu empirik yang menyingkap sebagian dari rahasia keberadaan dan mempertegas wujud keteraturan dan pengaturan (tadbir) alam dari sisi yang lain, senantiasa dianggap sebagai pendukung yang baik untuk argumen keteraturan ini.

  5. Dengan memperhatikan keistimewaan di atas, dibandingkan dengan argumen-argumen teologis lainnya, argumen keteraturan mempunyai peran yang lebih berpengaruh dalam menambah keimanan seseorang.

3.  Dalam literatur ilmu Kalam kuno, argumen ini tidak mendapatkan perhatian terlalu serius, bahkan dalam banyak literatur tidak ada pembahasan sedikitpun mengenainya. Kalangan terbatas yang menyinggung argumen ini antara lain: Fakhrurradzi ahli kalam Asy’ari dan Muhaqqiq Lahiji ahli kalam Imamiah. Fakhrurradzi menguraikan berbagai pernyataannya dalam kitabnya al-Mathâlibul ‘Aliyah, akan tetapi berdasarkan keyakinannya, argumen ini akan bisa menyebabkan keyakinan terhadap eksistensi Tuhan hanya ketika digabungkan dengan argumen-argumen teologis lainnya.[10] Demikian pula Muhaqqiq Lahijan dalam kitabnya Gohar-e Murâd, setelah membuktikan bahwa sistematika keteraturan merupakan sebuah keteraturan yang sangat indah, dia menyebutkan hal ini sebagai argumen kehakiman Tuhan (bukan sebagai argumen keeksistensian Nya).[11

 3. 1. Pengertian  Keteraturan

Sebelum mengurai dan mengevaluasi argumen ini lebih rinci, perlu kita sejenak menelisik makna keteraturan dalam sub bahasan ini.[12] Dengan menilik makna leksikal dan kegunaannya, kami sampai pada kesimpulan bahwa untuk melahirkan sebuah keteraturan, harus terdapat tiga unsur utama yang berperan di dalamnya:

  1. Majemuk dan kumpulan beberapa benda

  2. Pelaku atau unsur yang menggabungkan benda-benda tersebut

  3. Pengaturan dan ketertiban khas di antara mereka.

Dengan kata lain, setiap kali pembicaraan berkisar pada keteraturan maka kita senantiasa akan dihadapkan pada gabungan dan majemuk benda yang untuk menggabungkan antara satu dengan lainnya dan untuk menciptakan keindahan dan keteraturan yang khas di antara mereka diperlukan adanya unsur khas yang bertugas sebagai pengatur.[13]

Dengan memperhatikan makna general tersebut, keteraturan akan memiliki beragam bagian universal yang di antaranya adalah jenis khusus, dimana untuk melahirkan keteraturan tersebut:

  1. Kita harus memiliki majemuk benda-benda materi,

  2. Anggota dari majemuk ini harus saling berdampingan secara alami (tanpa adanya campur tangan manusia  atau makhluk rasional lainnya),

  3. Ada kerjasama sempurna antara anggota majemuk untuk mendapatkan tujuan khas.

Oleh karena itu ketika dalam argumen keteraturan pembicaraan kami mengarah pada keteraturan maujud alam, berarti maksud kami adalah keteraturan dengan kekhususan-kekhususan sebagaimana yang telah tercantum.

3. 2. Pernyataan Sederhana atas Argumen Keteraturan

Bentuk sederhana dari argumen keteraturan tersusun dari dua premis berikut:

1.          Alam tabiat adalah sebuah fenomena yang sistematik (mempunyai keteraturan),

2.          Setiap fenomena yang sistematik mempunyai pengatur yang cerdas dan berakal.

Konklusi dari gabungan kedua premis tersebut adalah bahwa alam tabiat mempunyai pengatur yang cerdas dan berakal (yaitu Tuhan).

Sebagaimana yang telah kami katakan, terdapat perbedaan yang muncul dalam penafsiran kedua premis argumen tersebut, demikian juga dalam penentuan konklusi yang muncul dari keduanya, dan pada pembahasan ini kami hanya akan menyinggung bagian yang mempunyai keterkaitan lebih banyak dengan bahasan kita:

3. 3. Premis Pertama Argumen Keteraturan

Premis pertama telah ditafsirkan dalam beberapa bentuk:

a.     Yang dimaksud dengan ke-sistematik-an alam tabiat adalah terdapatnya sebuah sistematika universal dan global atas alam tabiat dimana keseluruhan anggotanya mempunyai keserasian dan saling kerjasama antara sesamanya secara sempurna untuk mengarah pada satu tujuan wahid. Dalam penafsiran ini, keseluruhan alam tabiat diibaratkan sebagaimana manusia yang keseluruhan anggota badannya bahkan keseluruhan sel-sel tubuhnya melakukan tugas-tugasnya dengan serasi, teratur, mempunyai keterkaitan yang erat antara satu dengan lainnya dan bersama-sama meraih satu tujuan.

b.     Alam adalah sebuah majemuk dari majemuk-majemuk yang serasi, sistematik dan teratur. Berdasarkan penafsiran ini keseluruhan fenomena alam mempunyai keteraturan tanpa kecuali, dan apabila kita perhatikan secara detail maka kita akan menemukan adanya keteraturan dalam setiap majemuk dimana anggota-anggotanya senantiasa saling bekerjasama dalam meraih satu tujuan, dari atom yang paling kecil, bintang-bintang, galaksi, gunung, lautan, tumbuh-tumbuhan, hewan hingga badan manusia, masing-masing merupakan sebuah majemuk yang sangat sistematik dimana mereka melakukan konstruksi dan rekonstruksi karena adanya keserasian internal.

c.      Sebagian dari fenomena alam tabiat, teratur. Parameter yang diambil oleh intepretasi ini antara lain bahwa di alam tabiat terdapat fenomena-fenomena yang sistematik. Intepretasi ini tidak memaksakan pembuktian akan keteraturan seluruh fenomena alam dan meyakini bahwa untuk menarik konklusi dari argumen ini, kita tidak perlu harus menganggap bahwa alam merupakan satu sistematika universal (intepretasi pertama) atau majemuk dari fenomena-fenomena yang sistematis (intepretasi kedua), bahkan dengan hanya mengatakan bahwa kita menemukan keteraturan pada sebagian benda-benda dan fenomena-fenomena alam, hal ini telah cukup untuk membuktikan klaim tersebut.

Apapun, berdasarkan penyaksian empirik dan visual alam luar. pada premis pertama ini disimpulkan adanya keteraturan alam dengan salah satu makna di atas.

3. 4. Premis Kedua Argumen Keteraturan

Pada premis kedua[14] dinyatakan bahwa wujud setiap fenomena yang teratur meniscayakan adanya maujud berakal dan penata (mudabbir) yang berdasarkan pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya, dia akan meletakkan anggota internal fenomena tersebut secara serasi untuk mencapai tujuan tertentu lalu mengaturnya berdasarkan rencananya yang hakim. Oleh karena itu, pada premis kedua dinyatakan terdapatnya relasi keniscayaan antara wujud yang diatur dengan pengaturnya yang berakal dan hakim.

Karena keniscayaan tersebut bukan sesuatu yang gamblang, maka hal tersebut harus dibuktikan dengan cara lain yang hal ini berkaitan dengan sebagian metode pembuktian yang muncul di kalanganan para cendekiawan.[15] Di antara beragam metode tersebut, kami akan mengarahkan pembahasan pada metode akal:

Untuk membuktikan akal premis kedua ini bisa dikatakan: berdasarkan prinsip kausalitas (sebab-akibat), keberadaan akibat tidak hanya menghikayatkan bahwa dia berasal dari eksistensi sebab, akan tetapi kekhususan yang dimiliki oleh akibat juga merupakan penjelas dari sifat-sifat sebab.[16] Berdasarkan hal ini, akal manusia menghukumi bahwa fenomena yang teratur tidak saja hanya mempunyai sebab melainkan sebabnya pun harus berupa maujud yang berakal, hakim dan mudabbir, karena anggota dari sebuah majemuk yang teratur harus diletakkan berdampingan dengan ketertiban yang khas supaya mampu mencapai tujuan yang diinginkan dengan serasi.

Jelas bahwa ketertiban khas ini harus dilakukan dengan cara-cara yang tertata, karena pada banyak kasus, jumlah keadaan-keadaan seperti ini sangat banyak dan salah satu pilihan dari keadaan tersebut tidak mungkin ada tanpa adanya campur tangan akal dan pengetahuan.

3. 5. Konklusi dari Argumen Keteraturan

Kedua premis argumen keteraturan pada batasan tertentu telah menjadi jelas dengan adanya pembahasan di atas. Sebagaimana yang telah kami katakan, kajian pada premis pertama berkisar pada fenomena-fenomena alami yang teratur tanpa adanya campur tangan manusia dan mencapai tujuan akhirnya yang khas karena adanya relasi dan keserasian antara anggota-anggota internalnya.

Atas dasar ini, dengan sedikit melakukan pendekatan pada premis kedua, bisa dibuktikan terdapatnya pengatur yang berakal dan hakim sebagai pengatur seluruh alam tabiat atau minimal membuktikan terdapatnya realitas yang menjadi pengatur. Sekarang muncul pertanyaan apakah pembuktian realitas semacam ini setara dengan pembuktian eksistensi Tuhan?

Dalam menjawab pertanyaan ini, terdapat kelompok yang berpendapat bahwa argumentasi ini tidak mampu membuktikan eksistensi Tuhan melainkan hanya menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai ilmu dan hikmah.

Akan tetapi pendapat lain mengatakan bahwa argumen ini masih tidak cukup untuk membuktikan eksistensi Tuhan, di sini Tuhan tidak diperkenalkan sebagai Wâjib al-wujud, Penggerak Pertama atau Muhaddist (pencipta) alam, melainkan hanya diperkenalkan sebagai pengatur alam. Oleh karena itu konklusi dari argumen ini adalah membuktikan terdapatnya realitas supra natural yang dengan ilmu dan pengetahuannya mengatur alam tabiat dengan segala fenomena yang ada di dalamnya dan menetapkan kondisi yang khas di antara kondisi-kondisi yang memungkinkan lalu menciptakan keteraturan dan keserasian di dalamnya untuk mencapai tujuan yang khas pula, dan realitas supra natural itu tidak lain adalah Tuhan.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, jelas bahwa argumen keteraturan tidak membuktikan sifat-sifat lain yang dimiliki Tuhan sebagaimana wujub wujud atau tauhid (wahdaniyyat), akan tetapi kenyataan ini tidak seharusnya dianggap sebagai titik lemah argumen keteraturan, karena tujuan dari argumen ini bukanlah untuk membuktikan seluruh sifat-sifat Tuhan dan pada hakikatnya konklusi semacam inipun tidak bisa pula diharapkan bisa muncul dari argumen-argumen lainnya.

Apabila kita menginginkan kesimpulan akhir dari pembahasan ini secara ringkas, maka harus kami katakan bahwa alam tabiat atau minimal sebagian dari fenomena-fenomenanya merupakan sebuah majemuk yang teratur dan sistematik, dengan arti bahwa ketertiban dan interaksi yang ada di antara mereka adalah untuk mencapai tujuan tertentu. Keteraturan yang bertujuan ini yang manifestasinya dapat dilihat pada keseluruhan alam, menunjukkan adanya sebuah wujud pengatur yang mudabbir yang mengatur segala sesuatunya dari luar alam tabiat. Dan pengatur ini tidak lain adalah Tuhan.

 3. 6. Argumentasi Keteraturan dalam Al-Quran

        Al-Quranul Karim dalam banyak ayatnya mengungkapkan tentang beragamnya fenomena-fenomena tabiat dan menyebutnya sebagai ayat atau petunjuk atas wujud Tuhan dan menyebut manusia sebagai tadbir, sehingga mungkin dengan cara ini manusia bisa sampai pada makrifat atas Tuhan-nya. Pengenalan ini yang terkadang disebut sebagai “pengenalan ayat” mempunyai relasi yang sangat erat dengan apa yang dicari dalam argumen keteraturan. Sebelum kami menyebutkan contoh dari ayat-ayat tersebut, ada baiknya jika kami menyampaikan beberapa perbedaan pandangan yang ada dalam menafsiran ayat-ayat ini:

  1. Sekelompok peneliti menganggap ayat-ayat ini sebagai premis dan mukadimah untuk membentuk sebuah argumentasi rasional atas wujud Tuhan serta ilmu dan hikmat Nya[17] (mirip dengan apa yang telah kami jelaskan dalam argumen keteraturan).

  2. Menurut intepretasi lain, kelompok ayat ini hanya mengembalikan kesadaran akan makrifat fitri manusia kepada Tuhan-nya dan tidak ada peran lain selain sebagai pengingat dan penyadar kelalaian[18].

  3. Pendapat ketiga beranggapan bahwa ayat-ayat ini merupakan dialog atau dialektika yang lebih baik (jadal ahsan) dengan kaum musyrik, kaum yang sedikitpun tidak mempunyai pemahaman tauhid rububi terhadap Tuhan yang Esa dan menganggap bahwa patung-patung dan penyembahan palsu mereka mempunyai peran dalam pengaturan sebagian persoalan dunia[19].

Setelah kita ketahui sekilas tentang pandangan-pandangan di atas, sekarang tiba saatnya untuk mengungkapkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut, untuk tidak terlalu memperpanjang pembahasan, pada tiap-tiap bahasan, kami hanya mencukupkan satu contoh ayat yang kemudian kami lengkapi dengan sebuah riwayat yang sesuai[20].

Sekelompok ayat mengajak manusia untuk bertafakkur pada petunjuk-petunjuk dan ayat-ayat takwini (penciptaan) Tuhan yang terdapat pada seluruh alam.

Dalam surah Ali Imran ayat 190, Allah Swt. berfirman:

“Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”[21].

Pada hadits Jami’, Imam Sadiq as. bersabda:

“Wahai Mufadhdhal, pelajaran dan ibrat pertama serta dalil atas Khaliq –Jalla wa ‘Alla- adalah bahwa Dia-lah pemberi bentuk alam dan pengumpul serta pengatur segala ciptaan yang ada di dalamnya, karena jika engkau memperhatikannya dengan pikiran yang jernih dan mendalam, engkau akan temukan alam ini layaknya sebuah rumah yang menyediakan seluruh kebutuhan hamba-hamba Nya. Langit telah ditinggikan sebagaimana atap, bumi telah dihamparkan layaknya permadani, bintang-bintang gemerlap laksana lampu yang menerangi kegelapan dan mutiara-mutiara laksana simpanan yang tersembunyi dan semuanya terletak secara tepat di tempatnya masing-masing. Dan manusia sebagaimana sang penghuni rumah yang mempunyai wewenang penuh terhadap segala sesuatu yang ada di dalamnya. Segala jenis tumbuhan dan hewan telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan kebaikannya. Semuanya tersebut merupakan dalil bahwa alam ini telah diciptakan dengan cermat, teratur dan serasi dan penciptanya hanyalah satu, Dialah yang memberi bentuk, mengatur dan menyerasikan setiap anggota-anggota yang ada di dalamnya”[22]

Sebagian ayat dan riwayat juga menekankan akan adanya sistematisasi dan tujuan dalam fakultas-fakultas tertentu dari ciptaan-Nya, sebagian dari fakultas tersebut:

  1. Penciptaan manusia

Dalam surah ar-Rum ayat 20, Allah Swt. berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya adalah menciptakankamu dari tanah, kemudian tiba-tiba (kamu menjadi) manusia yang berkembang biak”.

Imam Shadiq As tentang keteraturan yang melingkupi seluruh penciptaan manusia sebagai petunjuk atas wujud Tuhan, bersabda:

“Sangat aneh apabila dikatakan bahwa Tuhan tidak terlihat, sementara mereka melihat hasil karyanya dalam komposisi-komposisi alam dan penyusunan yang cermat dalam penciptaan dirinya. Aku bersumpah apabila mereka berfikir tentang masalah besar seperti komposisi alam yang sangat jelas, kecermatan pengaturan eksternalnya, kemunculan makhluk-makhluk dari ketiadaannya, perubahan mereka dari tabiat yang satu ke tabiat lainnya serta perubahan-perubahan dari rencana yang satu ke rencana lainnya, maka mereka akan melihat dalil kewujudan pencipta, karena tidak ada satupun fenomena tanpa adanya komposisi dan kecermatan pengaturan di dalamnya, yang hal tersebut menunjukkan terhadap adanya Khalik yang mudabbir, dan kepengaturan yang cerdas ini akan membimbing manusia ke arah Tuhan yang Wahid dan Hakim[23].

  1. Perbedaan bahasa dan warna

    Dalam surah ar-Rum ayat 22, berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya adalah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”

 Imam Shadiq As dalam pelajaran tauhid-nya kepada Mufadhal bersabda:

“Wahai Mufadhdhal, perhatikanlah bagaimana Tuhan memberikan kenikmatan bercakap kepada manusia dimana dengan kemampuan ini dia bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam hantinya dan menguraikan apa yang ada dalam fikirannya dan dia juga mampu memahami apa yang ada dalam hati manusia lainnya. Apabila kemampuan ini tidak ada dalam dirinya, pastilah mereka laksana binatang yang tidak mampu mengungkapkan apa yang ada di dalam lubuk hatinya dan tidak mampu memahami apa yang ada di dalam lubuk hati selainnya”

  1. Alam dengan pengaturannya yang berpasangan

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

“Tuhan menciptakan terang berlawanan dengan gelap, nampak berlawanan dengan tersembunyi, kering dengan lembab dan dingin dengan panas. Dia memberikan kehidupan pada tabiat dan memisahkan hal-hal yang berdekatan  supaya keterpisahan mereka menunjukkan pada pemisahnya dan ketergabungan mereka menunjukkan pada penggabungnya (yaitu Tuhan) dan inilah makna dari firman Tuhan yang mengatakan Kami menciptakan segala sesuatu secara berpasangan. Dan ambillah ibrat dari hal ini”.[24]

  1. Menciptakan kehidupan

Dalam surah al-An’am ayat 95, berfirman:

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir-butir tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikianlah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?”

Amirul Mukminin ‘Ali As dalam penegasannya bahwa penciptaan makhluk hidup merupakan petunjuk agung Ilahi, bersabda:

“Dan apabila mereka mengumpulkan semua makhluk hidup, baik binatang unggas ataupun berkaki empat dan segala jenis binatang yang cerdas maupun yang kurang cerdas, mereka tetap tidak mempunyai sedikitpun kemampuan bahkan untuk menciptakan seekor lalat sekalipun dan mereka tidak akan mampu pula menemukan metode penciptaannya; dan akal mereka tidak akan mampu menemukan rahasia dari makhluk hidup ini”[25].

  1. Menumbuhkan tumbuhan

Dalam surah al-An’am ayat 99, dikatakan:

“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak, dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur dan Kami (mengeluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman”.

  1. Dunia burung

        Dalam surah an-Nahl ayat 79, berfirman:

“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman”.

Apa yang telah diuraikan di atas hanyalah sebagian kecil dari majemuk besar dari ayat dan riwayat yang menjadi petunjuk dan penjelas akan wujud Tuhan serta ilmu dan kodrat tak terbatas Nya. Untuk menghindari pembahasan yang berlarut-larut, maka kami mencukupkan pembahasan kali ini sampai di sini saja.

 

4. ARGUMEN WUJUB DAN IMKAN

        Jalan atau burhan yang ketiga untuk menegaskan dan mengenal eksistensi Tuhan adalah jalan atau metode rasional. Asumsi kita di sini adalah akal dan rasio manusia mampu membuktikan wujud Tuhan dan menegaskan semua sifat sempurna atas-Nya dengan menggunakan sebagian kaidah-kaidah umum logika. Jalan ini murni berpijak pada premis-premis yang rasional, dan perbedaannya dengan dua jalan sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Penegasan dan pengenalan Tuhan dengan akal yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat, karena pembahasan filsafat itu sangat rumit dan memahaminya membutuhkan beberapa pendahuluan dan pengkajian yang dalam maka dari itu dia memerlukan pembahasan yang khusus; Kesimpulannya, argumentasi rasional filosofis berkaitan dengan penegasan wujud Tuhan bagi masyarakat awam yang tidak mengenal kaidah-kaidah filsafat merupakan hal yang sangat sulit dan tak terjangkau. Berpijak pada realitas tersebut, salah satu perbedaan yang mendasar adalah paling tidak sebagian burhan dan argumen rasional pembuktian Tuhan tidak bagi kalangan umum dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat awam. Kenyataan ini bisa dianggap sebagai titik lemah dari jalan rasionalitas, tetapi pada sisi lain memiliki keistimewaan dibanding yang lain yang akan disebutkan pada poin kedua dibawah ini.

2. Terkadang kita menemukan orang yang ragu dan bimbang atas keberadaan Tuhan karena pengaruh kritikan-kritikan dan keraguan-keraguan yang rumit berkaitan dengan realitas wujud Tuhan. Jelaslah bahwa dalil-dalil umum tentang eksistensi Tuhan yang bersandar pada kefitrahan dan kesucian hati tidak dapat memuaskan orang-orang tersebut dan disinilah nampak pengaruh dalil-dalil rasional dimana mampu memberikan solusi pasti atas berbagai keraguan dan kritikan yang berkaitan dengan kebenaran pandangan Theisme. Oleh karena itu, keistimewaan dalil-dalil rasional nampak ketika berhadapan dengan orang-orang yang mengingkari wujud-Nya dan dalam diskusi dan perdebatan filosofis tentang eksistensi Tuhan. Jika dengan dalil-dalil tersebut tak mampu menerangi jalannya orang-orang ateis, minimal segala keraguan mereka dapat ditepiskan dengan menampakkan kelemahan-kelemahan kontruksi argumentasi sehingga tak berpengaruh lagi dalam melemahkan keyakinan-keyakinan bagi orang tertentu.

4. 1. Manfaat Dalil-Dalil Rasional

        Bisa jadi orang menyangka bahwa keyakinan terhadap wujud Tuhan yang bersifat fitrah tak lagi memerlukan argumentasi rasional dan dalil-dali filsafat. Anggapan ini tidaklah benar, karena argumentasi rasional minimal memiliki dua kelebihan:

1. Argumentasi rasional dapat menguatkan keimanan agama, karena setiap kali akal manusia tunduk dan pasrah di hadapan satu argumentasi maka hatinya akan memiliki kecenderungan yang kuat terhadapnya. Dengan ungkapan lain, walaupun iman tidak identik dengan pengenalan rasional tapi dia berhubungan erat dengannya dan berpengaruh terhadap kualitas keimanan.

2. Keimanan agama, khususnya yang bersumber dari emosi dan perasaan, dapat sirna karena pengaruh berbagai kritikan dan keraguan. Oleh karena itu,  menemukan dasar-dasar dan kaidah-kaidah argumentasi rasional yang kuat menjadi sangat penting dan urgen dalam menjawab semua kritikan serta menghapus segala keraguan.

        Setelah menjelaskan posisi, kedudukan dan manfaat argumentasi rasional tentang eksisitensi Tuhan, maka kita akan beralih pada penguraian dan penjabaran dalil-dalil rasional dalam menegaskan wujud Tuhan. Para teolog dan filosof Islam untuk tujuan tersebut telah menyusun berbagai dalil, tapi karena pembatasan pembahasan kita hanya menyebutkan satu dalil umum yang disebut burhan imkan dan wujub.

4.2. Dasar-Dasar Burhan Imkan dan Wujub

        Burhan imkan dan wujub merupakan salah satu burhan dan dalil yang kuat dalam menegaskan dan membuktikan wujud Tuhan. Banyak penguraian dan penjabaran yang telah dikemukakan berkaitan dengan burhan tersebut dimana pada kesempatan ini hanya kita mencukupkan satu penjabaran. Sebelum menguraikan burhan tersebut, selayaknya terlebih dahulu menjelaskan secara ringkas dasar-dasar dan pendahuluan-pendahuluannya:

a. Definisi Wâjib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Salah satu dasar dari burhan imkan dan wujub adalah berkaitan dengan defenisi Wâjib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Untuk menjelaskan dua definisi tersebut dapat dikatakan, “segala sesuatu jika dihubungkan dengan wujud maka tidak akan keluar dari kondisi: pertama, hubungan dia dengan wujud bersifat niscaya dan mesti sedemikian hingga mustahil wujud terpisah darinya, kedua, hubungan dia dengan wujud tidak mesti dan wujud bisa terpisah darinya.”

        Wujud yang pertama disebut Wâjib al-Wujud dan wujud yang kedua dinamakan mumkin al-wujud. Untuk lebih memahami kedua defenisi dan istilah tersebut kita dapat menganalogikan hubungan antara Wâjib al-Wujud dan mumkin al-wujud dengan  wujud identik dengan hubungan antara gula dan air dengan manis. Gula dan manis mustahil dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan kita tak dapat membayangkan ada gula yang tak manis. Tetapi berkaitan dengan air, dia bisa menjadi manis dan juga dia bisa menjadi tak manis dan untuk membuat air menjadi manis maka perlu sesuatu yang manis dilarutkan kedalam air. Dalam pandangan teolog dan filosof Muslim, Wâjib al-Wujud adalah apa yang kita sebut dengan Tuhan (Allah, Khudâ, God) itu sendiri dan wujud-wujud yang selain Tuhan disebut mumkin al-wujud.

b. Kausalitas. Salah satu dasar dan pendahuluan burhan imkan dan wujub adalah teori kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Berdasarkan defenisi tentang Wâjib al-wujud dan mumkin al-wujud, maka inti dari teori kausalitas adalah setiap mumkin al-wujud memerlukan sebab (‘illat). Berpijak pada realitas ini, maka teori kausalitas menjadi sesuatu yang sangat jelas, gamblang dan badihi (tak memerlukan dalil-dalil) karena untuk membenarkannya kita cukup memahami subyek dan predikat proposisi. Penjelasannya, mumkin al-wujud adalah sesuatu yang tak mesti dan tak niscaya keberadaan dan eksistensinya, dengan ungkapam lain, hubungannya dengan wujud dan tiada adalah sama; yakni dia bisa berada (berwujud) dan juga dapat meniada (tiada). Oleh karena itu, sesuatu yang mumkin al-wujud agar dapat terwujud membutuhkan “sesuatu yang bisa mewujudkannnya”, sesuatu ini – dikenal dalam istilah filsafat dan teologi – sebagai sebab (‘illat). Maka dari itu, segala sesuatu yang mumkin al-wujud kalau ingin terwujud mesti memerlukan sesuatu yang lain yang akan mewujudkan dan menciptakannya.

          Berdasarkan pengertian di atas, maka kita dapat mendefenisikan kembali kata Wâjib al-Wujud dan mumkin al-wujud menjadi: mumkin al-wujud adalah sesuatu yang bergantung kepada yang lain (baca: sebab); sedangkan Wâjib al-Wujud adalah sesuatu yang tak bergantung dan tak butuh kepada yang lain.

c. Kemustahilan Tasalsul. Salah satu pendahuluan yang lain dari burhan wujub dan imkan adalah kemustahilan tasalsul. Pengertian tasalsul dalam hal ini adalah satu rangkaian yang tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti pada sebab pertama, dengan ungkapan yang sederhana, tasalsul ialah wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B) sebagai akibat dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D) dan seterusnya dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak berakhir. Berdasarkan teori kemustahilan tasalsul, bentuk rangkaian seperti itu adalah batil. Sebagian filosof beranggapan bahwa kemustahilan tasalsul merupakan hal yang jelas, gamblang dan badihi. Dan sebagian filosof yang lain membangun argumentasi rasional untuk menggugurkan tasalsul tersebut.

d. Kemustahilan Daur. Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara. Sesuatu yang hanya memiliki satu perantara menjadi sebab bagi dirinya sendiri disebut daur langsung (daur sharih), sementara yang membutuhkan banyak perantara disebut dengan daur tak langsung atau tersembunyi (daur mudhmar). Jadi asumsi bahwa A adalah sebab B dan B sebagai sebab A merupakan contoh daur langsung. Sedangkan contoh dari daur tak langsung sebagai berikut, A sebab B, B sebab C, C sebab D dan D sebab A. Kemustahilan daur, dalam bentuk apapun merupakan hal yang jelas dan nyata.

4. 3. Penjelasan Burhan Wujub dan Imkan

        Setelah menyebutkan beberapa premis burhan tersebut, maka sekarang ini kita akan menguraikan dan menjabarkan argumentasi tersebut, sebagai berikut:

        Tak ada keraguan sama sekali bahwa di alam ini terdapat realitas eksistensi yang bisa kita lihat, dengar, rasakan dan bincangkan. Realitas eksistensi tersebut hanya memiliki dua asumsi yaitu sebagai sesuatu yang Wâjib al-Wujud atau mumkin al-wujud. Dengan ungkapan lain, realitas yang diasumsikan, sebagai sesuatu yang bergantung kepada wujud yang lain (mumkin al-wujud) atau merupakan sesuatu yang tak bergantung kepada wujud lain (Wâjib al-Wujud).

Dengan memperhatikan secara seksama asumsi kedua tersebut maka terbuktiklah kemestian dan keniscayaan eksistensi Tuhan.

        Sementara pada asumsi pertama, kalau berdasarkan prinsip kausalitas, maka sesuatu yang mumkin al-wujud pasti membutuhkan sebab. Jika sebab tersebut adalah mumkin al-wujud itu sendiri dan mata rantai sebab-sebab tersebut tak terbatas, maka hal ini akan menyebabkan tasalsul dan tersebut adalah salah. Kemungkinan yang lain adalah mumkin al-wujud merupakan akibat dari suatu sebab, langsung atau tak langsung, dimana sebab tersebut juga sebagai akibat dari mumkin al-wujud tersebut. Kemungkinan inipun adalah keliru, karena berkonsekuensi pada daur.

        Yang kemungkinan yang logis hanyalah bahwa sesuatu yang mumkin al-wujud tersebut, langsung atau tak langsung, merupakan akibat dari suatu sebab dimana sebab tersebut bukan sebagai akibat dari sebab-sebab yang lain. Sebab tersebut adalah Wâjib al-Wujud, dengan demikian terbuktilah bahwa segala realitas wujud hanya bersandar dan bergantung pada Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan).

        Dengan demikian, kesimpulan burhan tersebut adalah bahwa kita meyakini adanya sebuah realitas di alam dan realitas wujud tersebut jika dia adalah Wâjib al-wujud maka terbuktilah eksistensi Tuhan, tetapi kalau ia adalah mumkin al-wujud, dengan memperhatikan bahwa dia memerlukan sebab dan bersandar pada kemustahilan tasalsul dan daur, maka pasti membutuhkan sesuatu dimana sesuatu tersebut bukan merupakan akibat dari yang lain, sesuatu tersebut tak lain adalah Wâjib al-Wujud.  

4. 4. Sifat-Sifat Pertama dan Kedua Bagi Tuhan

        Burhan wujub dan imkan menetapkan wujud Tuhan sebagai Wâjib al-Wujud dan Sebab Pertama, sebagaimana juga burhan keteraturan menegaskan eksistensi Tuhan sebagai Sang Pengatur alam. Jadi setiap burhan-burhan yang menegaskan wujud Tuhan, sesungguhnya hanya melekatkan Tuhan pada sifat-sifat tertentu, tetapi hal ini bukan berarti bahwa konklusi burhan-burhan tersebut hanya menetapkan salah satu sifat Tuhan dimana sifat tersebut sudah terasumsi sebelumnya. Tujuan mendasar dari seluruh burhan-burhan tersebut adalah membuktikan dan menegaskan wujud Tuhan, terkadang di awal atau di sela-sela pembahasan  digunakan sebuah pemahaman khusus yang berkaitan dengan sifat-sifat tertentu Tuhan dimana sifat-sifat tersebut dijadikan sebagai perantara dalam penegasan eksistensi-Nya.

        Sebenarnya kita tak memiliki jalan lain dalam mengkonstruksi sebuah argumentasi penegasan wujud Tuhan kecuali sebelumnya membuat sebuah asumsi yang nantinya akan dibuktikan kebenarannya di alam eksternal. Setelah pembuktian wujud Tuhan sebagai Wajib al-Wujud atau Pengatur atau …maka gilirannya akan sampai pada penegasan sifat-sifat Tuhan yang lain. Dalam hal ini, kita bisa membagi dua sifat yang berkaitan dengan argumentasi pembuktian Tuhan, berhubungan dengan pembuktian wujud Tuhan kita katakan sebagai “sifat pertama” dan berkaitan dengan penegasan sifat-sifat Tuhan kita sebut sebagai “sifat kedua”.

        Dalam pembahasan kita mendatang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan, akan disaksikan bagaimana sifat pertama Tuhan, seperti Wâjib al-Wujud, diletakkan sebagai dasar dan pondasi dalam pembuktian sifat-sifat sempurna Tuhan (baca: sifat kedua).

4. 5. Al-Quran dan Kebergantungan kepada Tuhan

        Penjelasan filosofis burhan wujub dan imkan yang rumit tersebut tak terdapat dalam al-Quran. Tapi terdapat ayat-ayat al-Quran yang menyinggung dan membicarakan masalah kebutuhan dan kebergantungan semua wujud (baca: makhluk) kepada Tuhan, ayat ini kelihatannya bersesuaikan dengan argumentasi-argumentasi rasional dan dali-dalil filsafat yang juga bepijak pada substansi kebergantungan semua makhluk kepada Tuhan. Sebagai contoh, dalam surat al-Fâthir Allah berfirman, Hai manusia kamu sekalian bergantung dan butuh (al-faqr) kepada Tuhan dan Tuhan adalah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji.[26]

        Makna al-faqr di dalam ayat di atas sangatlah luas dimana juga meliputi pengertian tentang kebutuhan dan kebergantungan semua makhluk kepada Tuhan, maknanya yang paling penting adalah kebergantungan eksistensi makhluk.

        Pada sebagian ayat-ayat al-Quran menekankan sisi ke-akibat-an dan keterciptaan wujud-wujud selain Tuhan, khususnya manusia. Ayat-ayat tersebut bisa dijadikan sandaran bagi konstruksi argumentasi rasional dan burhan filsafat atas wujud Tuhan sebagai Pencipta Keberadaan, Allah dalam hal ini berfirman, “Apakah mereka dicipta dari ketiadaan? Ataukah mereka sebagai pencipta atas diri mereka sendiri?[27] Mungkin ayat ini bisa dijadikan pijakan argumentasi seperti penjabaran rasional di bawah ini:

        Tiada keraguan bahwa setiap manusia adalah realitas wujud yang dicipta, karena mereka itu pernah tiada dan kemudian terwujud dan hadir di alam ini. Pada kondisi ini kita memiliki beberapa kemungkinan: 1. Manusia hadir tanpa suatu sebab; 2. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri.

Dengan sedikit merenung, kita sampai pada konklusi bahwa dua kemungkinan tersebut adalah batil dan tak logis. Oleh karena itu, satu-satunya kemungkinan yang paling logis adalah semua manusia dan wujud lainnya adalah realitas yang dicipta oleh Tuhan Yang Maha Agung.

Kalaupun penafsiran ini atas ayat di atas tidak tepat, tetapi ada hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa ayat tersebut dengan bersandar pada keterciptaan manusia mencoba memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta hakiki semua realitas.[wisdoms4all.com/Indonesia]


[1].  Fitrah pada dasarnya merupakan salah satu pembahasan dari prinsip pengenalan manusia Islami yang hingga saat ini masih hangat sebagai bahan pembicaraan dan penelitian. Untuk mengetahui masalah ini lebih lanjut rujuk kitab-kitab: Syahid Muthahhari, Fitrah; Ayatullah Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma’ârif Qur’ân, J. 1-3, hal. 26-47; Syirwani, ‘Ali, Seresht Insân; Pazuheshi dar Khudasyenâsi Fitri.

[2]. Tidak diragukan lagi, pembuktian kefitrahan pengetahuan akan wujud Tuhan dalam makna ini merupakan pembahasan yang rumit dan membutuhkan dasar serta prinsip-prinsip Filsafat khusus, dimana tidak pada tempatnya apabila kami memberikan penjelasannya pada pembahasan ini.

[3].  Dalam ilmu logika untuk proposisi semacam ini selain disebut dengan istilah “proposisi fitri”, disebut juga dengan istilah “proposisi qiyasaatuhaa ma’aha” yaitu prorosisi yang membutuhkan pembuktian, dimana qiyas yang cukup untuk pembuktian, ada bersamanya di dalam benak.

[4]. Dasar filosofi ilmu hudhuri (knowledge by presence) manusia kepada Tuhan adalah bahwa setiap akibat mujarrad mempunyai ilmu hudhuri terhadap sebabnya seukuran keluasan wujudnya, dan karena jiwa manusia adalah mujarrad, maka dia akan berhadapan dengan makrifat hudhuri terhadap sebab wujud dan awal penciptaan dirinya yaitu Tuhan.

[5]. Sebagai contohnya, berdasarkan penafsiran pertama dan kedua, makrifat fitri manusia terhadap wujud Tuhan merupakan makrifat hushuli, sedangkan pada penafsiran keempat menegaskan tentang ke-hudhuri-an makrifat tersebut.

[6] . Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuk: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi; Ma’arif Quran, J. 1-3, hal 37.

[7]. Bisa juga merujuk pada QS. Luqman: 33 dan an Nahl: 53.

[8]. Sebagaimana yang akan kami bahas dalam masalah Tauhid, ayat tersebut juga mengisyarahkan pada kefitrahan tauhid.

[9] . Untuk mengkomparasikan pendapat sebagian ilmuwan era ini, rujuk: ‘Alamah Thabathabai, Al Mizan, J. 18, hal. 158, Syahid Muthahhari, Illal-e Gherayesh beh Madigari (Majmu’-e Atsar, J. 1, hal. 551-537); Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Amuzesy ‘Aqaid, J. 1-2, hal. 66-71; Subhani, Ja’far, al Ilahiyyat ‘ala Hudal kitab wa Sunnah wa Aql, J. 1, hal. 33-59 dan Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyiin Barahin Itsbat-e Huda, hal. 238- 243. 

[10] . Fahrurradzi, al Mathâlib al ‘aliyah minal ‘ilmu al-Ilahi, J. 1, hal. 239-248.

[11]. Lahiji, Gauhar Murad, hal. 223.

[12] . Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai makna dan pembagian keteraturan, rujuk: Dailami, Ahmad, Tabiat wa Hikmat, Pazuhesyi dar Burhan-e Nazm, bab 2, hal. 57-76.

[13] Dengan ungkapan yang lebih khas, keteraturan merupakan kejelasan sekunder filososfis (philoshopichal secondary intelligibless), dimana untuk mempersiapkan sumber kemunculannya maka hal-hal yang telah tersebut di atas harus ada terlebih dahulu.

[14]. Dengan istilah para logikawan, premis kedua merupakan premis mayor dari argument keteraturan, dan premis pertama diistilahkan sebagai premis minornya.

[15] Sebagian kelompok melakukan metode tamsil (permisalan) untuk membuktikan premis mayor dari argumen ini (premis kedua) dengan arti bahwa dari komparasi hubungan antara ciptaan manusia dengan penciptanya dan antara fenomena-fenomena alami dengan sebabnya diambil kesimpulan bahwa yang menciptakan fenomena-fenomena teratur haruslah sebuah maujud berakal dan cerdas (seperti manusia). Kelompok lain mengambil metode istiqra (induktif) dan menyatakan bahwa dari berbagai macam istiqra (induktif) bisa disimpulkan bahwa setiap fenomena yang teratur membutuhkan pengatur yang berakal. Penjelasan komplit masalah ini berada di luar pembahasan kita.

[16] Dalam filsafat Islam dikatakan bahwa salah satu prinsip asli illiyyat adalah adanya kemiripan antara sebab dengan akibat, dengan arti bahwa senantiasa terdapat kemiripan dan keterkaitan antara sebab dengan akibatnya dan atas dasar ini  setiap akibat tidak bisa muncul dari setiap sebab, oelh karena itu kekhususan akibat mampu menghikayatkan kekhususan sebabnya.

[17] . Rujuk kitab: ‘Alamah Thabathabai, al Mizan, J. 18, hal. 154.

[18] . Rujuk kitab: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Âmuzesy Aqâid, J. 1-2, hal. 68.

[19] . Rujuk: Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyiin Barâhin Itsbât-e Khudâ, hal. 43.

[20] . Untuk penjelasan yang lebih lengkap tentang ayat dan riwayat, rujuklah : Makarim Sirazi, Nasir, Payâm Qurân, J. 2, hal. 61-457; Tabiat wa Hikmat, hal 169-200.

[21] . Rujuk juga surah-surah: al Baqarah: 164, Jatsiyah: 3-6, Yunus: 100-101, dan Ibrahim,: 10.

[22] . ‘Alamah Majlisi, Bihârul Anwâr, J. 3, hal. 61, dengan nukilan dari Mufadhal.

[23] . Biharul Anwar, J. 3, hal. 152.

[24] . Syaikh Saduq, at-Tauhid, cetakan kedua, hadits 2, telah diriwayatkan pula hadist dari Imam ‘Ali As dengan kandungan makna yang senada, rujuklah: Nahjul Balâghah, kotbah ke 186.

[25] Nahjul Balâghah, Khotbah ke 186.

[26] . Qs. Al-Fâthir: 15.

[27] . Qs. Al-Thur: 35.

Tinggalkan komentar