Epistemologi Agama

Definisi dan Karakteristik  Epistemologi Agama

Epistemologi agama merupakan suatu bentuk makrifat derajat kedua, dimana seorang epistemolog dengan pandangan kesejarahannya melihat kepada makrifat-makrifat agama dan memberikan penjelasan tentang dasar-dasar representasi, pembenaran dan aksiden-aksidennya. Untuk lebih jelasnya masalah ini, perlu kami isyaratkan terlebih dahulu suatu bentuk pembagian universal dalam wilayah pembahasan epistemologi.     Epistemologi dalam telaah universal dibagi atas dua jenis, epistemologi apriori dan epistemologi aposteriori.1.      Epistemologi apriori: Bagian epistemologi ini membicarakan tentang wujud mental, ilmu dan kognisi. Dengan kata lain, subyek dari epistemologi ini, adalah eksistensi dan esensi daripada ilmu. Adapun predikat-predikat yang dipredikasikan atas subyek epistemologi ini, seperti kenonmaterian ilmu, kematerian ilmu, kesatuan ‘âlim dan ma’lûm, kualitas mental dan sebagainya. Misalnya dikatakan: wujud ilmu, adalah non materi atau esensi ilmu, adalah kualitas mental atau ilmu dibagi atas hudhuri dan hushuli serta contoh-contoh lainnya. Jenis epistemologi ini, disebut epistemologi sebelum terealisasi dan teraktual ilmu-ilmu atau disebut juga epistemologi filosofis. Perlu juga disebutkan bahwa jenis epistemologi ini mempunyai dua  tema bahasan utama, ontologi ilmu dan penyingkapan ilmu. Yakni, terkadang pembahasan berbicara tentang wujud dan mahiyah ilmu dan terkadang pembahasan berhubungan dengan penyingkapan makrifat-makrifat terhadap realitas dan hakikat.2.      Epistemologi aposteriori: Jenis epistemologi ini merupakan kebalikan dari jenis epistemologi terdahulu, ia ada sesudah merealitas dan mengaktualnya ilmu dan makrifat manusia serta tidak memperhatikan pada wujud atau mahiyah ilmu sebagai realitas dalam akal dan mental manusia; akan tetapi subyek-subyeknya, adalah totalitas makrifat-makrifat dan proposisi-proposisi atau konsepsi-konsepsi (tashawwur) dan afirmasi-afirmasi (tashdiq) yang maujud dalam berbagai ilmu. Dengan kata lain, subyek dari golongan epistemologi ini adalah dari tipe dan jenis makrifat.  Selanjutnya poin ini perlu diketahui juga bahwa epistemologi memiliki tinjauan terhadap seluruh proposisi-proposisi ilmu, baik  proposisi-proposisi itu sesuai dengan realitas ataukah sama sekali tidak ada kesesuaian; dengan kata lain, seluruh penerimaan dan penolakan proposisi-proposisi ilmu itu menjadi hal yang diterima oleh para ilmuan dari disiplin ilmu tersebut dan menjadi bahan telaah mereka. 

       Untuk penjelasan yang lebih luas berkenaan masalah ini perlu kami isyaratkan juga pembagian lain dari pengetahuan dan makrifat manusia. Pengetahuan dan makrifat manusia dalam suatu bentuk pengelompokan dikelompokkan menjadi dua, pengetahuan dan makrifat derajat pertama dan pengetahuan dan makrifat derajat kedua. Pengetahuan dan makrifat derajat pertama adalah makrifat-makrifat yang membahas tentang hakikat-hakikat tertentu; sebagai contoh, dalam fisika dibahas subyek-subyek seperti materi, energi, gerak, kekuatan, cahaya dan sebagainya, dan dalam kimia dibahas dan diteliti tentang unsur-unsur; akan tetapi makrifat-makrifat derajat kedua berbicara tentang pengetahuan dan makrifat derajat pertama; seperti filsafat ilmu Fisika (philosophy of physics)  dimana yang dibahas dan ditelaah didalamnya adalah  ilmu fisika itu sendiri atau secara global filsafat ilmu (philosophy of Science) dari ilmu-ilmu eksperimen, dibahas dan dikaji dari dimensi bahwa ia mempunyai satu esensi kesejarahan serta berusaha menjawab terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah stetemen-stetemen ilmu dapat menerima pembuktian ataukah menerima pembatilan? Apakah proposisi-prosposisi (qadhâyah) ilmu bersifat tetap atau berubah? Dan pertanyaan-pertanyaan lain serupa itu. Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas akan menjadi jelas bahwa filsafat setiap ilmu berada dalam tataran vertikal ilmu itu sendiri, tidak dalam kesejajarannya atau lebih utama darinya. Oleh karena itu topik-topik ilmu dan filsafat seperti filsafat akhlak, filsafat kalam (teologi), filsafat politik, filsafat matematika dan juga epistemologi agama, semuanya dipandang sebagai bagian dari pengetahuan dan makrifat derajat kedua atau epistemologi aposteriori.Subyek epistemologi agama, adalah makrifat agama, dan makrifat agama merupakan suatu komprehensi umum yang dimutlakkan atas seluruh proposisi-proposisi yang diambil dari syariat. Maka dari itu sebagai konklusinya, pengetahuan dan  makrifat fiqih, teologi, tafsir, hadis dan akhlak, semuanya terhitung sebagai makrifat agama. Akan tetapi tidak semua makrifat-makrifat kalam dapat dihitung sebagai makrifat agama; sebab tidak semua pembahasannya diambil dari syariat, sebagaimana dapat disaksikan pembahasan tentang Ilâhiyyât bil-ma’na al-akhash (filsafat ketuhanan) dalam kitab-kitab Kalam. Namun di samping itu pengetahuan dan makrifat rasional yang berhubungan dengan agama, harus dipandang sebagai bagian dari makrifat agama. 

Penjelasan Mengenai Mafhûm Agama     

      Untuk memahami lebih dalam pembahasan epistemologi agama, harus terlebih dahulu dijelaskan dan didefinisikan  mafhûm (komprehensi) agama, sehingga dapat diketahui secara baik kedudukan dari epistemologi tersebut. Agama (dîn) dalam bahasa Arab bermakna ketaatan, balasan, khudhu’ (tunduk) dan menyerah; tetapi definisi lughawi (leksikal) agama (dîn) dalam bentuk pembahasan ini tidak memecahkan masalah; oleh karena itu kita terpaksa mendefinisikan agama secara peristilahan. Istilah agama dalam zaman kita ini sangat sulit menerima definisi; sebab definisi-definisi yang diutarakan, terkadang sangatlah luas, yang mana juga memberi jalan masuk hal-hal yang berbeda pada batasannya, sehingga meliputi ideologi-ideologi Materialisme seperti Marxisme atau ia sedemikian terbatasnya sehingga tidak menghimpun semua individu-individunya. Problem mendasar dalam pembahasan ini, apakah agama-agama yang ada ini mempunyai perkara yang sama sehingga berasaskan perkara yang sama itu dapat diutarakan suatu definisi baginya ataukah tidak?        Definisi-definisi agama yang beragam telah diutarakan dalam bentuk pembahasan tersendiri; sebab itu dalam pembahasan ini hanya akan diisyaratkan definisi-definisi dari sebagian penulis; oleh karena itu di antara definisi-definisi agama yang dipandang perlu diungkapkan  adalah: 1.      Dari Kitab dan Sunnah[1]; 2.      Rukun-rukun, prinsip-prinsip dan cabang-cabang agama yang turun atas Nabi Saw[2]; 3.      Teks-teks agama, keadaan-keadaan dan prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama (para Nabi dan pembawa agama)[3]; 4.      Kitab, sunnah dan sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama[4]. Definisi-definisi ini, di samping terdapat pertentangan-pertentangan dalam ungkapan, juga memiliki problem ilmiah (isykal) seperti di bawah ini:Problem pertama: Penulis dalam ungkapan-ungkapannya, terkadang bermaksud mendefinisikan agama dan terkadang bermaksud menedefinisikan syariat; dan bagi orang-orang yang ahli dalam ilmu Kalam, tidak tersamar bagi mereka bahwa kedua istilah ini adalah berbeda; sebab di samping isytarâk lafzhi  (equivocal) dalam terma syariat, juga syariat dimutlakkan terhadap cabang-cabang agama dan mempunyai makna yang lebih khusus dari agama.Problem Kedua: Penulis mencampuradukkan antara agama dan naskah agama; agama adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai, sementara naskah dan teks agama adalah yang menberitakan dan mengisahkan tentang hakikat dan nilai tersebut. Oleh sebab itu relasi (nisbah) antara teks agama dan agama, adalah relasi (nisbah) antara yang memberitakan dan diberitakan.        Sebagai konklusi, definisi agama yang menjadi pilihan kita adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai yang sampai ke tangan manusia dari jalan wahyu, dalam bentuk Kitab dan Sunnah yang bertujuan memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia.

 Makrifat Agama       

Berdasarkan definisi-definisi yang beragam dari agama, maka pengertian tentang makrifat agama juga menemukan perbedaan-perbedaan. Penulis kitab “Qabz wa basth teori syariat”, dalam ungkapan yang berbeda-beda menjelaskan dan mendefinisikan istilah makrifat agama; terkadang pengertiannya adalah pemahaman agama atau pemahaman syariat dan terkadang pengertiannya adalah pemahaman manusia tentang syariat serta di dalam banyak kesempatan ia menyebutkannya dengan pengetahuan agama[5], yang pada tulisan ini kami akan isyaratkan sebagian dari ungkapan-ungkapan tersebut:“Makrifat agama dalam definisi kami adalah identik dengan tafsir syariat yang dihasilkan dari pemahaman terhadap kalam Tuhan dan ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin agama” (Nabi-nabi As dan pembawa agama). “Maksud kami dari makrifat agama adalah sekumpulan dari proposisi-proposisi yang dihasilkan dari jalan khusus dengan bantuan media khusus dengan memperhatikan terhadap teks-teks agama dan kondisi-kondisi serta prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama”. “Makrifat agama, yakni pengetahuan dan makrifat yang dihasilkan dari pemahaman kitab dan sunnah, sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan dasar-dasar serta rukun-rukun dan cabang-cabang agama; semua ungkapan kami dalam tulisan ini tentang makrifat agama, tidak lain adalah makrifat-makrifat yang digunakan dari kitab dan sunnah itu sendiri….”[6]        Definisi-definisi penulis kitab ini dari makrifat agama, di samping terdapat pertentangan dan perbedaan di antara definisi-definisi itu sendiri, pada dasarnya lebih banyak kembali pada makrifat teks-teks agama dari pada makrifat agama. Tapi pembahasan istilah-istilah ini tidak terlalu urgen untuk dipermasalahkan, yang urgen bagi kita adalah pemahaman unitas dari istilah-istilah yang ada sehingga kita aman dari kerancauan musytarak lafzhi (equivocal). 

Iman dan Makrifat Agama     

    Salah satu yang menjadi dasar dan landasan epistemologi agama adalah kejelasan perbedaan dan pemisah antara iman dan makrifat agama, sehingga dengannya kategori iman dapat dikeluarkan dari fokus pembahasan. Oleh karena itu kita harus juga membawakan sekelumit uraian dan penjelasan tentang iman dalam tulisan ini.        Setiap maujud yang memiliki jiwa (ruh), baginya  keterikatan-keterikatan; manusia juga disamping memiliki keterikatan terhadap materi, ia mempunyai keterikatan dan ketertarikan kepada pengetahuan, keindahan, politik dan kemasyarakatan. Iman juga adalah suatu bentuk keterikatan final, dimana seluruh maklumat-maklumat lain berada di bawah radius pancarannya atau yang lain tertolak karenanya; sebagai contoh, keterikatan final dan fanatisme nasionalisme ekstrim terhadap bangsa. Oleh karena itu, dari jalan ini seluruh unsur-unsur kehidupan person di dalam prilaku dan amal menyatu dengan iman. Koridor dan batasan iman untuk setiap orang merupakan areal yang disucikan; yakni keterikatan final manusia pada akhirnya akan berubah menjadi suatu keterikatan suci dan saat itulah ia akan melahirkan unsur keberanian, keperkasaan dan kecintaan.[7]        Hal yang berhubungan dengan iman, senantiasa berupa sesuatu atau individu tertentu; maka dari itu, pribadi mukmin  dinisbahkan terhadapnya (sesuatu atau individu) harus mempunyai pengetahuan dan makrifat; itupun dalam bentuk makrifat yaqînî (disertai keyakinan); sehingga ia dapat dikategorikan sebagai hal yang bergantung dan berhubungan dengan iman; sebab iman terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara mutlak adalah tidak mungkin, akan tetapi terkadang kepercayaan dalam diri akan menyebabkan lahirnya iman, tapi inipun pada hakikatnya dampak dari keyakinan.         Adapun kekhususan-kekhususan dari iman di antaranya; senantiasa bergerak melakukan pencarian, menyempurna, melemah dan menipis. Kondisi-kondisi iman ini bisa saja dipengaruhi oleh faktor-faktor pengetahuan, psikologi, politik,  kemasyarakatan dan lain-lain. Sampai di sini telah jelas bahwa iman merupakan kategori qalbu yang diperoleh dari dua unsur, yaitu ilmu dan kewajiban, dan makrifat agama sebagai subyek dari epistemologi agama, adalah ilmu dan pengetahuan para ulama agama yang dihasilkan lewat metode penelitian  atau ilmu yang diperoleh dari jalan merujuk kepada akal dan sumber-sumber agama.

 Hermeneutik     

     Mengingat bahwa pembahasan epistemologi agama berhubungan dengan masalah-masalah hermeneutik, maka sebaiknya kami juga menyinggung sekelumit pembahasan urgen dan hangat ini di hadapan para pembaca. 

  A. Makna Hermeunetik      

Istilah hermeunetik (hermeneutics)  merupakan derivasi dari kata kerja Yunani hermeneuein yang bermakna penafsiran dan dari sudut tinjauan etimologi mempunyai hubungan dengan kata Hermes, Tuhan bangsa Yunani kuno yang bertugas membawa pesan langit kepada manusia.Gambaran dari struktur tiga tahapan penafsiran, adalah pesan (teks) tafsiran penafsir (Hermes) dan mukhâtab (yang disampaikan padanya pesan). Adapun penggunaan kata hermeunetik dalam bentuk penggunaan sifat, berbentuk hermeneutic dan hermeneutical; seperti teori hermeneutik (hermeneutic theory). Urgen kami ingatkan bahwa pendekatan etimologi hermeunetik tidak dapat menyampaikan orang pada hakikat hermeunetik, maka dari itu harus dengan teliti melakukan penggalian terhadap esensi dan mahiyahnya. Dewasa ini, istilah hermeunetik sudah dimutlakkan pada cabang dan disiplin ilmu rasional yang mempunyai hubungan dengan mahiyah serta asumsi-asumsi sebelum interpretasi.Hermeunetik dan teori penakwilan, telah diungkapkan sejak dahulu dalam dunia Barat (dunia Kristen) dan dunia Islam. Para ulama agama, menawarkan pendekatan-pendekatan seperti tahdzib dan tazkiyah nafs (Pembersihan dan pensucian jiwa) untuk menyingkap makna dari teks-teks suci dan menafsirkannya; akan tetapi dunia Barat, pada awal abad ke 19, dengan perantara ilmuan-ilmuan seperti Schleier Macher (1768-1834 M), Wilhelm Dilthey (1833-1911 M), dan Hans Georg Gadamer (1900 M) meletakkan landasan baru bagi ilmu ini. Teori tafsir Schleier Macher dengan merubah hermeunetik dari kedudukan khususnya menjadi kaidah-kaidah umum, berkisar pada fokus dua prinsip penafsiran, penafsiran grammatical dan technical. Dilthey dengan mengajukan metodelogi umum dalam ilmu-ilmu humaniora melakukan pembedaan metodelogis kelompok ilmu-ilmu ini dengan ilmu-ilmu alam, dengan itu ia memasukkan hermeunetik pada babak baru keilmuan. Sedangkan Gadamer, dengan karyanya “Truth and Method” menempatkan dirinya pada tataran pemikir-pemikir beraliran takwil. Gadamer, berseberangan dengan Macher dan Dilthey yang berpandangan bahwa jarak sejarah dan budaya seorang penafsir dari penyusun merupakan sumber dari buruknya pemahaman, menekankan bahwa tidak mungkin ada pemahaman tanpa pra asumsi-pra asumsi dan keyakinan para penafsir sebelum berhadapan dengan teks. Berdasarkan ini, Gadamer tidak memandang penting menyingkap maksud dari pada penyusun dan ia juga tidak meyakini penafsiran hakiki serta penafsiran final. Sebagian dari ilmuan-ilmuan kontemporer yang beraliran takwil seperti E.D. Hirsch menekankan perbaikan teori dan pandangan Schleier Macher  tentang bentuk dari maksud dan niat penyusun untuk menjauhi  idealisme. Sementara Emilio Betti sejarawan Italia, mengeritik Gadamer dari dimensi menghilangkan kemungkinan memahami tafsir rasional dari tafsir muktabar.[8]

  B. Islam dan Hermeunetik   

 Hermeunetik dalam dunia Islam, kendatipun tidak diungkapkan dalam bentuk mendiri dan terpisah, tetapi ilmu ini juga tidak terlalaikan. Bahkan para ulama ‘Ulûm al-Qur’an dan Ushul al-Fiqh dalam karya-karya mereka, mengungkapkan pembahasan-pembahasan seperti ilmu tafsir dan perbedaannya dengan takwil, metode-metode penafsiran dan bentuk-bentuk penafsiran nakli, ramzi, syuhudi, akal dan ijtihad, tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir dengan ra’yu (tafsir bir ra’y), dan pembahasan-pembahasan alfâzh seperti ilmu tentang wadh’, macam-macam dilâlah; tashawwuri, tasdhiqi awwali, tashdiqi tsanawi, menyingkap maksud penyusun dan pembicara, dan lain-lain untuk tujuan Fiqih dan Tafsir.Para ulama Islam kebalikan dari Gadamer dan seperti Schleier Macher serta Dilthey meyakini maksud dan niat penyusun sebagai makna final dan hakiki pembicara.

 C. Pengaruh Asumsi Sebelumnya dan Hermeunetik

Fungsi dan tujuan paling penting dari takwil (interpretasi) adalah memberi jawaban pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah kita sebagai penafsir dapat sampai pada makna hakiki suatu ungkapan, dimana kita sendiri mempunyai persepsi dan pandangan khusus, tanpa memasukkan keputusan sebelumnya dan asumsi sebelumnya terhadap pengertian ungkapan itu? Apakah ungkapan-ungkapan di samping mempunyai makna lahir juga mempunyai makna lain (makna batin)? Apakah ada kemungkinan menemukan makna  batin itu? Mengapa bisa terjadi perbedaan penafsiran di antara penafsir-penafsir terhadap satu teks? Apakah perbedaan asumsi-asumsi sebelumnya dan jarak sejarah  antara penyusun dan penafsir tidak menimbulkan ambiguitas dan kerumitan-kerumitan ungkapan? Apakah perbedaan kaidah dan metode penjelasan serta penafsiran setiap orang merupakan penyebab timbulnya aliran-aliran beragam in? Apakah dapat diungkapkan niat dan maksud penyusun, terlebih khusus niat dan maksud Tuhan? Apakah ada jalan untuk membedakan antara pemahaman benar dan pemahaman salah, atau harus mengarah pada pandangan fenomenologi hermeunetik dan Gadamer yang berujung pada relativisme dalam pemahaman? Apakah setiap pemahaman butuh pada interpretasi? Apakah setiap teks mempunyai makna tersembunyi yang harus diungkap dengan penafsiran? Ataukah tanpa penafsiran juga dapat diperoleh makna dari teks-teks? Dan yang lebih penting, apa hakikat dari pemahaman, realisasi, dan kenyataan pemahaman itu?                Sejarah memberi kesaksian bahwa penelitian dan analisa hermeunetik serta secara umum metode-metode pemahaman teks, khususnya teks-teks agama, memiliki tingkat keurgenan lebih besar dibanding cabang dan disiplin ilmu lainnya; sebab setiap agama dan masyarakat agama, dengan sekumpulan dan setumpuk penafsiran yang berbeda-beda telah memunculkan banyak pertikaian dan permusuhan di antara agama-agama, mazhab-mazhab teologi, dan mazhab-mazhab fiqih,  dan ini terus berlanjut dalam perjalan sejarah hingga sekarang ini.[wisdoms4all.com]   
 


[1] . Abdul Karim Surûsy, Qabz wa Basth Teorik Syariat, Hal. 25,79,80 dan 225.[2] . Ibid.[3] . Ibid.[4] . Ibid.[5] . Abdul Karim Surûsy, Qabz wa Basth Teorik Syariat, Hal. 25, 79, 80, 97, 122, 206, 243 dan 255.  [6] . Ibid.[7] . Paul Tilich, Puyâyî Iman, Penerjemah: Husain Nuruzi, Hal.15.[8] . Hermeneutics, The Encyclopedia of Religion. Mircea Eliade 1987. 

Tinggalkan komentar